Raline mondar-mandir di dalam kamar. Raut wajahnya tampak tidak tenang. Sudah satu bulan ia dan Aaron berusaha mendaftarkan Aarline ke sekolah umum non inklusi yang berkualitas bagus, namun tak satupun mau menerimanya. Berbagai alasan didengarkan oleh suami istri itu. Rata-rata karena tidak ingin ketertiban dan kenyamanan sekolah terganggu dengan kehadiran gadis itu. Mereka beranggapan Aarline memiliki masalah dengan psikologis juga.
"Mereka kejam banget, Aaron," desah Raline mengerling ke arah suaminya. "Emosi Aarline cukup stabil. Dia nggak akan ngamuk dong kalau nggak ada sebab."
Aaron menarik istrinya ke dalam pelukan. "Sudah, Raline. Kamu sudah berusaha semaksimal mungkin. Semua sekolah juga telah didatangi dan jawaban mereka sama."
Mata cokelat yang digenangi air itu menatap pilu. "Trus kita harus nyerah gitu aja? Gimana dengan impian Aarline?"
"Nanti biar saya yang bicara dengannya. Semoga saja Aarline mengerti."
Raline kembali terisak meratapi nasib putrinya. Rasa bersalah kembali bercokol di hati.
"Semua salahku, Aaron," lirih wanita paruh baya itu.
Kepala Aaron menggeleng tegas. "Ini bukan salah kamu. Selama ini kamu sudah melakukan yang terbaik untuk Aarline. Berhenti menyalahkan dirimu, Honey."
Raline menarik napas dalam sekali sehingga tulang lehernya terlihat jelas. Dia menyeka air mata sebelum beranjak ke luar kamar menemui Aarline.
"Mau ke mana?" tanya Aaron ketika melihat istrinya ke luar.
"Ngomong sama Aarline," jawabnya tanpa menoleh kepada Aaron.
Wanita itu melangkah pelan ketika memasuki kamar Aarline yang kebetulan pintunya tidak tertutup. Senyum getir tergambar di parasnya melihat ketekunan sang Putri belajar membaca gerak bibir. Selama sebulan ini, ia tidak memberitahu Aarline bahwa sekolah-sekolah yang ada di kota London telah menolak kehadirannya.
Aarline menoleh ke samping ketika merasakan pelukan Raline dari belakang.
"Mo ... my," ucapnya pelan.
"Sedang apa?" ujar Raline duduk di pinggir tempat tidur.
Aarline mengerling ke arah laptop.
Raline berusaha tersenyum lembut anak itu. "Belajar yang giat ya. Buktikan kepada mereka kalau kamu bisa seperti anak lain," katanya menyemangati Aarline sembari melakukan gerakan bahasa Isyarat ketika mengucapkan kalimat dalam bahasa Indonesia.
Gadis itu mengangguk sambil tersenyum. Sesaat kemudian dia terdiam mengamati raut wajah Raline. Aarline mengarahkan telunjuk ke wajah Ibunya, lalu berpindah ke bawah mata sendiri.
Mommy menangis?
"Oh, ini hanya kelilipan tadi," sahut Raline mengedipkan mata cepat.
Aarline menggelengkan kepala. Dia kembali menunjuk wajah Raline, kemudian mengarahkan kedua telunjuknya ke atas bibir dan mengusap pelan turun ke bawah.
Mommy terlihat sedih.
"I am okay, Darling."
Kini giliran Raline yang memandang lekat putrinya. Dia tahu usaha yang dilakukan Aarline agar bisa bersekolah di sekolah umum sangat keras. Meski tidak tega, tapi dia harus memberitahukan gadis itu yang sebenarnya.
"Dengar apa yang ingin Mommy sampaikan kepada kamu," risik Raline sambil memegang erat pundak putrinya.
Kepala Aarline mengangguk pelan. Dia memfokuskan pikiran dan penglihatan kepada bibir ibunya.
"Apa kamu ti—" Kalimat Raline berhenti ketika ponsel berdering.
"Sebentar, Sayang. Uncle telepon." Raline menunjukkan layar ponsel kepada putrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ISYARAT [TAMAT]
Teen FictionAarline Brown, seorang gadis keturunan Minang-Inggris divonis tuli sejak lahir. Dia sangat mengagumi sosok Helen Keller, sehingga termotivasi untuk mengenyam pendidikan di sekolah umum non inklusi. Sayang keinginan Aarline tidak bisa terwujud dengan...