alpha

6.8K 489 75
                                    

"Papaa!" Suara nyaring seorang anak perempuan mengalihkan atensi Naruto yang sedang bergurau dengan istrinya.

Himawari berlari dari kejauhan diikuti Boruto yang menjaga di belakangnya. Naruto menunduk untuk mengangkat tubuh mungil anak gadis kesayangan kemudian menciumi pipinya gemas.

"Anak papa habis main sama kakak, ya? Gimana tadi main layangannya, seru?"

Himawari terkekeh sambil mengangguk antusias. "Kak Boruto lihai sekali bermain layangannya, papa! Sudah seperti atlet layangan saja."

Naruto tertawa. Ia setuju bahwa anak lelakinya memang mahir dalam segala hal. Belum pernah ada satu bidang pun yang Boruto tak mampu kuasai dengan mudah. Prestasi anaknya itu selalu mampu membuatnya bangga.

"Hima pasti cape habis main. Makan siang dulu, yuk!" Suara lembut Hinata terdengar menawarkan.

Himawari mengangguk dan turun dari gendongan ayahnya. Berjalan menggandeng sang kakak yang terdiam untuk mengajaknya makan. Mereka pun makan di atas karpet bermotif kotak-kotak dengan bekal yang sudah Hinata dan Himawari siapkan.

Naruto mengambilkan sepotong roti untuk disuapkan pada sang istri. "Aaaa, untuk istriku tercinta yang sudah mempersiapkan semua ini."

Perlakuan sederhana Naruto yang sungguh jenaka tak pernah gagal menyunggingkan senyum di wajah manis Hinata. Mulutnya terbuka untuk menerima suapan yang Naruto tawarkan. "Terima kasih, sayang."

Naruto tertawa kemudian mencium kening Hinata. Hal itu tak luput dari perhatian sang anak sulung yang melihat interaksi kedua orang tua angkatnya dalam diam.

Pandangannya kosong. Mata birunya tak sedikit pun mencerminkan kebahagiaan dari kegiatan bertamasya yang sering dilaksanakan keluarga Uzumaki.

Perhatiannya kini bukan pada interaksi Naruto dan Hinata, tetapi kepada Naruto seutuhnya. Dilihatnya dengan seksama wajah ayahnya yang tersenyum lebar setiap berkumpul bersama keluarganya.

Boruto benci ekspresi itu. Tentu ia sangat menyukai senyum ayahnya. Sebuah tindakan kecil yang mampu membuat hatinya menghangat. Namun, hal yang ia benci adalah fakta bahwa senyum itu bukan hanya Naruto tunjukkan pada dirinya.

"Kak? Kau melamun." Konsentrasi Boruto pecah karena suara Himawari yang mengguncang sedikit pelan bahu kanannya.

"Eh? Tidak, aku hanya memikirkan tugas kampusku." Ujar Boruto kikuk.

Naruto yang mendengar itu hanya bisa menggeleng. "Haaah.. Sudah ayah bilang agar jangan terlalu ambisius, Boruto. Ayah akan tetap bangga padamu apapun yang terjadi."

Boruto tersenyum, berusaha menghilangkan ekspresi dingin yang tertahan. "Tidak apa, ayah. Aku senang melakukannya."

"Apa kau tidak senang liburan hari ini, Boruto?" Tanya Hinata yang ikut mengkhawatirkan sifat ambisius anak pertamanya.

Boruto menggeleng. "Tidak, ibu."

Tangan kanan Naruto bergerak mengusap surai pirang anak angkatnya yang berwarna mirip dengannya. "Kalau kau tak senang, kita bisa pulang dan melakukan apapun yang kau mau. Jangan sungkan untuk mencurahkan perasaanmu pada kami, Boruto."

Sedikitnya, ada perasaan takut yang muncul dalam diri Naruto apabila Boruto tak merasa nyaman sebagai anak angkatnya.

Boruto memang anak angkat. Setelah memasuki tahun pernikahan kelima, saat itu Hinata belum juya dikaruniai anak. Mereka pun mendapat saran dari Hanabi untuk mengadopsi anak dari panti asuhan yang disetujui baik Naruto dan Hinata.

Namun, lima tahun setelah Boruto resmi menyandang marga Uzumaki, Hinata dinyatakan positif hamil anak perempuan yang kemudian dinamakan Himawari atas usul Neji--kakak laki-laki Hinata.

Parasite [Borunaru]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang