gamma

3.3K 356 72
                                    

"Ayah, aaa.."

Naruto membuka mulutnya menerika suapan dari Boruto. Sebenarnya ia merasa bisa makan sendiri, hanya saja Boruto memaksa untuk melakukan semua untuknya. Dia bilang, Naruto harus lebih banyak istirahat agar lekas membaik.

Naruto terkekeh. "Kau tidak ke kampus?"

"Ke kampus, yah. Aku janji setelah mata kuliahku selesai, aku akan langsung pulang dan membelikan ramen kesukaanmu!"

Naruto menerima suapan kedua. "Tidak perlu buru-buru, Boruto. Ayah sudah merasa lebih baik dari sebelumnya."

Sejenak, sumpit di tangan kanan terhenti. Boruto lalu menampilkan senyum manisnya lalu mengambil butiran nasi di pinggir bibir sang ayah dan memakannya. "Aku hanya senang bersamamu. Berdua saja."

Naruto mengangguk. "Aku harus cepat sehat kembali agar bisa bekerja. Karin sudah menghubingiku berkali-kali kalau urusan perusahaan menjadi berantakan tanpa kehadiranku."

"Bagaimana jika aku menggantikanmu sementara? Aku sudah semester 8, sebentar lagi aku lulus." Tawar Boruto sambil menyuapkan suapan ketiga.

"Kau yakin, Boruto?" Naruto bertanya dengan mulut penuh.

"Yakin, ayah. Itu sebabnya aku memasuki jurusan magister administrasi bisnis. Agar aku dapat melanjutkan perusahaanmu."

Tangan kanan yang ditutupi perban mengusap surai anaknya. "Ayah bangga padamu, Boruto."

Ya. Cukup kalimat itu yang Naruto perlu ucapkan untuk membuat semangat hidup Boruto meningkat. Boruto tidak butuh apapun, hanya Naruto. Usapannya, perkataannya, senyumnya, mata safir indahnya, dan dirinya. Boruto tidak butuh yang lain lagi.

Tak terasa nasi di mangkuk telah habis Naruto makan. Boruto pun berpamitan untuk berangkat kuliah. Sebelum pergi, ia mencium kening ayahnya. "Aku pergi, ayah."

"Hati-hati." Ucap Naruto menampilkan senyum yang menular pada Boruto.

.

"Boruto!"

Suara gadis dengan surai hitam dan kacamat bingkai merah yang bertengger di hidungnya terdengar nyaring. Boruto yang sedang membaca dengan earphone wireless melepas benda putih di kuping kiri.

Sarada menaruh tasnya di samping Boruto. Pemuda itu selalu sendirian. Auranya selalu menunjukkan permintaan jangan diganggu. Namun, Sarada merupakan tetangga dan teman bermainnya sejak kecil. Mengingat kedua orang tua mereka berteman baik dan sering bertamasya bersama.

"Bagaimana kabar Naruto-san?" Tanya Sarada.

Boruto membuang napasnya malas. "Baik-baik saja."

"Apakah aku boleh ke rumahmu untuk menjenguknya sore ini? Sudah lama sekali semenjak aku bertemu dengannya."

"Tidak perlu. Ayahku butuh istirahat. Dia tak bisa diganggu untuk saat ini." Balas Boruto ketus.

Sarada sudah biasa dengan sikap Boruto yang sangat berbeda di rumah dan di lingkungan kampus. Di lingkungan rumahnya, ia akan bersikap ramah, mudah tertawa, dan bersuara lembut. Tetapi di kampus, ia sangat dingin dan asosial.

Kehadiran dosen menjadi tanda berakhirnya percakapan mereka. Shino hadir untuk mengajar mata kuliah pengantar estetika. Tangannya menuliskan tulisan di atas papan tulis kapur.

Filosofi diri. Begitulah tulisan yang terpampang di sana.

"Kalian pasti tahu, setiap manusia memiliki warna dan kepribadian berbeda. Setiap warna itu memiliki latar belakang yang dicorehkan di kanvas putih." Ujarnya menerangkan.

"Kanvas putih bersih itu akan diwarnai dengan berbagai hal. Peristiwa, pendapat orang lain, lingkungan dan lain-lain sehingga terbentuklah diri kalian yang ada di hadapan saya sekarang."

Parasite [Borunaru]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang