Chapter 2

13.7K 77 0
                                    

Semua temanku setuju terkait tempat tinnggal kami setelah ku jelaskan. Andi mengangguk sambil menyodorkan bungkus rokok padaku. Aku menolak dengan halus. Aku bukanlah seorang perokok. Bahkan aku benci bau rokok.

Anton, Bima dan Dika hanya melihatku sejenah dan melanjutkan aktivitas mereka. Minum kopi dan merokok. Mereka pasti setuju dengan segala hal. Selagi bukan mereka yang mengurusnya. Kadang aku risik dengan sikap mereka yang seperti ini. Seperti tidak ingin berpartisipasi. Namun kadang aku juga bersyukur. Semakin sedikit ide yang mereka berikan, semakin mudah aku mengatur mereka.

"Ngopi dulu yan." Tawar Dika sambil menyeruput kopinya dan mengalihkan pandangannya padaku. "Jangan terlalu serius kamu jadi orang."

"Enggak, aku ga suka kopi." Jawabku halus.

"Ngopi enggak, ngerokok enggak. Lu cowok atau cewek sih?" Celetuk Bima. Orang dengan badan paling besar di kelompok kami.

Aku hanya diam mendengarnya dan memberikan senyuman kecil sambil mencari tempat duduk di warung kopi ini.

"Udahlah, kalau ga ada si Dian ga ada yang ngurus kelompok kita. Emang lu mau dijadiin ketua kelompok." Bela Gilang. Tangannya meraup bungkus rokok di kantung celananya. Iya, hanya aku yang tidak merokok di kelompok ini.

"Benar juga ya. Makasi ya Buk Dian. Haha." Kata Anton diikuti oleh tawa teman-temanku yang lain. Aku tidak tau harus menimpali apa perkataan si Anton itu. Aku tidak begitu ahli dalam percakapan berkelompok seperti ini. Kembali aku hanya senyum.

Dari kejauhan kulihat Pak Ilham memberi isyarat pada kami untuk mendekat. Kulihat ada 5 orang pria paruh baya di belakangnya. Sepertinya mereka para kepala dusun di desa ini.

Pak Ilham memperkenalkan para kepala dusun tersebut. Dimulai dengan pak Tono. Badannya tinggi, kulitnya hitam seperti sering berjemur di bawah terik matahari. Gilang akan tinggal di rumah Pak Tono nantinya. Diikuti dengan perkenalan kepala dusun lainnya.

Aku kurang memperhatikan kepala dusun lainnya. Saat ini aku dapat kesempatan untuk memperhatikan Pak Ilham lebih jelas. Dia bisa dibilang cukup tinggi. Lebih pendek sedikit dibandingkan Pak Tono. Kedua tangannya tampak legam dan keras. Mungkin ini ciri khas masyarakat pedesaan yang masih menggeluti pekerjaan di sawah. Namun sepertinya Pak Ilham tidak bisa mengatur pola makannya. Perutnya besar sekali. Atau mungkin faktor usia yang mengakibatkan itu. Selebihnya dia masih tampak dalam kondisi primanya.

Beberapa bagian rambut depannya tampat mulai menipis. Helai putih tampak pada bagian samping kepalanya. Dan kumisnya sangat lebat, bergerak luwes ketika dia berbicara. Agak lucu setelah kupikir pikir. Seperti Pak Raden.

Kami kemudian sepakat untuk kumpul kembali di Balai Desa setelah jam makan siang. Saat ini saatnya kami menuju tempat tinggal sementara. Beristirahat dan merapikan peralatan dan pakaian yang kami bawa.

Aku sedikit bingung. Aku berangkat kesini berboncengan dengan Gilang. Namun lokasi dusun kami tidak berada pada satu jalur. Malahan berlawanan. Dusun tempat tinggal Gilang berada dekat dengan pintu masuk desa. Sedangkan tempatku tinggal berada jauh di ujung desa. Tepat di kaki gunung. Aku menempelkan tangan kananku di dada. kebiasaanku ketika sedang bingung.

"Nak Dian saya bonceng saja ya." Tawar. Aku tidak punya pilihan lain. Aku pun mengekornya menuju tempat motornya terparkir.

Motor Pak Ilham merupakan motor bebek keluaran lama. Beberapa bagian telah dicopot dan memperlihatkan rangka motor tersebut. Apa bisa motor ini mengangkut kami berdua? Untuk mengangkut Pak Ilham saja mungkin sudah kesulitan.

"Kenapa Nak Dian? Ndak suka dengan motor saya?" Tanya Pak Ilham sambil menghidupkan motornya secara manual.

"Bukan Begitu pak. Tapi apa bisa motornya mengangkut kita berdua?"

"Jangan salah. Justru motor ini lebih kuat dibandingkan motor matik teman-teman kamu. Palingan mereka kesulitan menghadapi jalanan di desa ini, Nanti kamu lihat saja sendiri. Ayo sini naik." Jelas Pak Ilham.

Aku mendekati motornya dan mulai menaikinya. Tempat duduknya sangat sempit mengingat Pak Ilham menghabiskan ¾ tempat duduk. Bagian belakang pantatku sampai menyentuh besi pinggiran motor ini.

"Siap-siap ya Nak Dian. Rumah saya yang paling jauh di desa ini. Jalannya juga luar biasa." Kata Pak Ilham sambil menjalankan motornya perlahan. Aku meletakkan satu tanganku di pundaknya.

Benar yang dikatakan Pak Ilham. Belum ada sepuluh menit berkendara, kami sudah menemukan jalan yang sangat rusak. Lubang menganga ada dimana-mana. Bebatuan bertaburan mulai dari kerikil hingga sebesar bola sepak. Pak Ilham tampak sangat gesit mengendarai motornya, menghindari lobang dan bebatuan dan berusaha mencari jalan yang baik untuk dilewati. Terkadang kami menyenggol bebatuan dan membuat motor sedikit oleng. Merasa ketakutan akupun berpengang kerat pada kedua bahu Pak Ilham.

"Ini belum seberapa loh, jalanannya masih datar. Nanti setelah 20 menit kita akan dapat jalan yang jauh lebih bagus hahaha." Pekik Pak Ilham. Aku mengerti, itu jelas bukan jalan yang lebih bagus dari caranya berbicara.

Jalanan sedikit demi sedikit mulai menanjak. Pepohonan yang menutupi pinggiran jalan mulai menjadi lenggang. Aku mulai bisa melihat pemandangan gunung di depan. Namun aku tidak bisa berkonsentrasi pada pemandangan indah itu. jalanan ini benar-benar "bagus". Bagian jalan yang dapat dilalui menjadi lebih sedikit. Lumpur mulai terlihat mengingat jalanan kini hanya terbuat dari tanah saja. Beberapa kali motor yang kami kendarai kehilangan keseimbangan. Aku reflek menurunkan kaki dan menggoyangkan badan untuk mencegah kami terjatuh. Namun itu justru membuat kondisi makin buruk. Untuk Pak Ilham memiliki kaki yang kuat menahan motor ini.

"Nanti jangan gitu lagi ya. Untuk kita ga jatuh sekarang." Ucapnya sambil menstabilkan motornya kembali.

"Gimana dong pak, saya takut jatuh." Balasku.

"Kamu diam saja, jangan gerak."

"Kalo motornya kayak tadi gimana saya bisa diam aja pak." Jawabku sedikit mendengus kesal.

"Iya kamu pegangan aja yang kuat."

"Tadi juga sudah pegangan yang kuat." Aku baru sadar tadi aku sampai meremas-remas bahu Pak Ilham.

"Ya kalo gitu pelu saya aja. Biar ga gerak-gerak."

Aku ragu dengan sarannya. Mana mungkin aku memeluk pria paruh baya ini. Aku kemudian meletakkan tanganku di bahunya kembali.

"Jangan salahkan saya kalau Nak Dian jatuh ya."Kata Pak Ilham datar. Dia kemudian menjalankan motornya dengan mendadak danlincah. Aku yang sangat takut secara tiba-tiba melingkarkan tanganku di tubuhnya.Kepala kusenderkan di bahu kirinya. Jalanan ini benar-benar membuatku pusing. Akutidak berani membuka mata. Disela sela perjalanan bisa kudengar Pak Ilhamtertawa terbahak bahak. Aku tidak menghiraukannya. Aku lebih fokus mencegahperutku mengeluarkan semua isinya.

KKN BergairahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang