Chapter 6

9.8K 57 5
                                    

Sudah menjadi kebiasaan bagi Dian untuk bangun pagi. Hari ini dia bangun pukul enam pagi. Satu jam lebih lama dari jam biasanya. Bukan karena malas, melainkan dia baru bisa tidur pukul 4 pagi. Kerasnya dengkuran Pak Ilham yang berada tepat disampingnya membuatnya kesulitan untuk tidur. Hingga perih diseluruh matanya berhasil membuatnya tidur.

Mandi dipagi hari bukanlah ide yang bagus baginya saat ini. Makin pagi suhu di desa ini makin dingin. Bagaimana mungkin Pak Ilham mampu bertahan tanpa menggunakan sehelai pakaianpu dengan dingin seperti ini?

Dian beranjak dari tempat tidur. Berusaha membuat gerakan seminnimal mungkin. Dia tidak ingin membangunkan Pak Ilham. Tentunya dia tidak ingin menyenggol tubuh pria paruh baya ini dan berakhir menyentuh area yang tidak diinginkannya.

Sesekali diperhatikannya Pak Ilham. Kedua tangannya kini menjulur di atas. Tangan kiri menopang kepalanya. Tangan kanan terlentang lurus. Tepat berada di atas kepala Dian ketika tidur. Seketika perasaan ingin muntah menyeruak dalam perutnya. Dian berlari menuju dapur mencari westafel. Beberapa kali dia mengeluarkan pertanda ingin muntah namun tidak ada apapun yang keluar.

"Aku bisa sakit jiwa jika terus berada di rumah ini. Apa tidak ada tempat lain lagi untukku?" Keluh Dian. Tangannya kini mulai meraup air yang mengucur dari keran. Membasuh wajahnya dari sisa kotoran dan liur bekas tidur tadi.

Terdengar suara dari ruang tengah. Suara pintu terbuka dan tertutup.

"Sekalian buatkan saya kopi nak." Seru Pak Ilham dengan suara beratnya dari ruang tengah.

Hah. Kenapa dia menyuruhku membuatkan kopi? Aku bukan pembantunya! Entah kenapa pagi ini tempramennya sedikit tinggi. Efek kurang tidur atau mungkin kenyataan dia berada dalam satu kasur dengan pria telanjang bulat membuat perasaanya campur aduk pagi ini.

Dian sadar bahwa dia tengah menumpang dengan seorang kepala desa. Orang yang dapat memperlancar kegiatan KKNnya di desa ini. Jadi mau tidak mau dia harus melakukan hal ini. Membuatkan kopi untuk tuan rumahnya.

Diperhatikannya rak dapur di depannya. Sebuah toples kopi hitam tertutup rapat. Dia mengambil cangkir dan mulai membuatkan kopi. Dituangnya air hangat dari sebuah termos yang ternyata masih hangat. Dian tidak tahu apakah Pak Ilham menyukai kopi pahit atau manis. Namun dari penampilan, berbadan besar, perut buncit, rambut yang mulai botak, kulit hitam, Dian menyimpulkan sinis bahwa Pak Ilham menyukai kopi pahit. Jikapun dia tidak suka, itu merupakan hukuman telah memperlakukannya seperti kemarin. Orang gila apa yang tidur tanpa busana dalam suasana dingin dan dengan seorang laki-laki!

Langkah kaki Dian terhenti seketika. Nampan berisikan kopi kini bergetar di tangannya. Betapa terkejutnya Dian ketika melihat Pak Ilham tengah duduk di ruang tengah. Bukan posisi duduknya yang membuat Dian kaget. Melainkan kondisi Pak Ilham yang duduk tanpa busana dalam keadaan telanjang bulat. Tangan kanan mengarahkan puntung rokok ke mulutnya. Tangan kiri berada di kemaluannya. Perlahan mengurut kontolnya yang masih layu.

Besar sekali. Batin Dian. Bahkan ukuran layunya masih jauh lebih besar daripada ukuran Dian ketika ereksi. Pak Ilham menyadari kehadirannya. Namun kembali mengarahkan pandangannya ke televisi. Tangannya masih mengelus kemaluannya. Si tua bangka ini tidak tahu malu.

"Sini bawa kopinya nak. Jangan bengong disana." Seru Pak Ilham datar. Dian berjalan cepat menghampiri. Meletakkan kopi di atas meja dan langsung membalikkan badan. Tidak ingin melihat pemandangan menjijikkan itu lebih lama lagi.

"Pak Ilham kok ga pakai baju!" Bentak Dian.

"Kenapa? Memangnya tidak boleh?" Jawab Pak Ilham. Terdengar suara seruputan kopi dari belakang. "Kenapa kamu malu? Tidak pernah melihat yang sebesar ini?" Suaranya begitu mesum di telinga Ilham.

KKN BergairahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang