Kami menuju sawah milik Pak Ilham dengan menggunakan sepeda motor. Menyusuri jalanan bertanah yang hanya cukup untuk dua motor jika berpapasan. Kondisi jalannya sama dengan yang kami lalui dari kantor desa. Musim penghujam membuatnya lebih susah untuk dilewati. Membuatku harus terus berpegangan erat pada Pak Ilham.
Selama perjalanan Pak Ilham menjelaskan mengenai persawahan yang kami lewati. Berapa luasnya dan siapa yang memilikinya. Aku sebenarnya tidak peduli dengan semua itu, mengingat aku tidak tahu sama sekali orang-orang di dusun ini. Namun dengan sopan aku hanya menjawab iya kepada pak Ilham.
Perjalanan berlangsung lima menit hingga kami tiba di sebuah sawah dimana terdapat beberapa pria duduk di pinggirannya. Dua orang tampak bercanda sambil menikmati bekal yang mereka bawa. Satu orangnya lagi masih berada di dalam sawah mengemudikan traktor. Mereka yang menyadari kehadiran kami langsung berdiri dan membungkuk sedikit.
"Siang Pak. Maaf kami sedang gentian istirahat." Salah satunya membungkuk.
"Iya santai saja, yang penting pekerjaannya selesai." Kata Pak Ilham yang masih duduk di atas motor. Tangan kirinya kini memegang tanganku yang masih melingkar di perutnya. Aku yang baru sadar sontak menarik tanganku. Pak Ilham terkekeh sedikit.
"Sama siapa itu pak, kok mesra sekali." Kata pria dengan gorengan yang masih digenggamnya.
"Haha, dia mahasiswa yang sedang KKN di desa kita. Kebetulan dia tinggal di rumah saya. Perkenalkan dirimu nak." Perintah Pak Ilham sambil menengok sedikit kebelakang.
"Siang pak, nama saya Dian." Ucapku sambil menundukkan kepala.
"Eh, Laki laki?"
"Haha iya dia laki-laki. Namanya memang seperti perempuan." Kata Pak Ilham terbahak-bahak.
"Semoga betah ya di desa kami. Nanti mampir-mampir aja kesawah atau ke rumah." Kata pria gorengan dengan senyum lebar. Kubalas dengan anggukan kecil.
"Sudah ya, saya mau ke pondok dulu." Kata Pak Ilham. Kakinya mulai menghidupkan motor kembali. "Pegangan nak."
Sontak Pak Ilham menjalankan motornya secara tiba-tiba. Membuatku memeluk erat tubuhnya. Kudengar tawa kecil dari petani tadi dibelakangku.
***
Pondok Pak Ilham tidak terlalu jauh dari sawahnya. Pondok ini sangat sederhana. Terbuat dari tiang dan anyaman yang terbuat dari bambu dengan atap dari jerami. Tercium bau busuk dari dalam pondok. Baru kusadari ternyata Pak Ilham memelihara dua ekor sapi.
"Kamu mau bantu bapak nak?" Tanya pak Ilham sambil menuntunku ke arah kandang sapinya.
"Bantu apa pak?"
"Bisa minta tolong berikan makan sapi saya? Tangan saya pegal sekali setelah kemarin ikut vaksin. Saya tidak bisa memotong rumputnya."
"Wah saya belum pernah pak." Kataku berusaha menolak permintaannya.
"Tenang nanti bapak ajarin. Ini pegang sabitnya."
Sabit itu lumayan besar dan terasa berat di tanganku. Pak Ilham kemudian mengambil rumput yang sangat panjang dari pojokan, berdiri di belakangku. Memberikan rumput untuk ku genggam. Tangan kanannya memengangi tanganku, mengarahkan bagaimana cara menggunakan sabitnya.
Tubuhnya begitu dekat. Bisa kurasakan perunya menempel di punggung bawahku. Dan ada bagian aneh pula yang menempel di pantatku. Tentu saja aku merasa risih dan berusaha menjauhkan diri darinya. Namun tangan kirinya yang bebes melingkar di pinggulkan. Mencegahku beranjak dari posisi itu.
"Mau kemana? Saya ajarkan sekarang biar kamu bisa. Semakin cepat selesai semakin cepat kita pulang. Kan kamu ada kumpul dengan teman-temanmu nanti."
Aku yang menyadari hal itu hanya bisa menghela napas dan pasrah mengikuti gerakan tangannya memotong rumput. Aku kemudian ditinggalnya masuk kedalam pondok dengan alasan untuk beristirahat.
Ini merupakan pekerjaan terberat yang pernah ku lakukan sampai saat ini. Permukaan rumput yang kasar memebuat sekujur tanganku terasa gatal. Belum lagi dengan pegal yang kurasakan setelah 30 menit lebih mengayunkan sabit besar ini. Peluh deras mengalir di tubuhku.
Setelah selesai aku menghampiri Pak Ilham di dalam pondok. Betapa kagetnya aku melihat dia tengah asik tertidur. Suara dengkurannya begitu keras membuat alisku mengernyit semakin keras. Tega sekali dia tidak setelah memberiku tugas berat.
Pak Ilham berbaring di atas dipan kayu dengan sebuah kasur tipisi tua dengan bekas robekan dimana-mana. Kedua tangannya menjadi tumpuan kepalanya. Bagian baju bawahnya diaikkan hingga seluruh bagian perut buncitnya terlihat. Menjijikkan sekali pikirku. Namun bukan itu yang membuat berhenti dari langkahku membangunkannya. Melainkan gundukan dibawah perutnya.
Pak Ilham tidaklah menggunakan celana tipis ataupun celana ketat. Dia menggunakan sebuah celana coklat dinas lusuh yang mungkin sudah tidak digunakannya lagi untuk bekerja. Namun gundukan tersebut terlihat sangat jelas. Aku sempat memperhatikan kundukanku sendiri ketika menggunakan celana. Aku tidak ingin daerah kemaluanku terlihat jelas walaupun ketika aku menggunakan celana. Namun apa yang ku lihat pada Pak Ilham jauh dari kata normal. Bahkan besar dengan gundukanku ketika sedang ereksi.
Aku mengibaskan kepalaku berusaha menghilang pikiran tersebut. Menjijikkan sekali melihat pria tua buncit dengan gundukan sebesar itu. Aku ingin cepat-cepat keluar dari pondok ini sebelum aku memuntahkan semua isi perutku. Namun mau tidak mau aku harus membangunkannya agar kami bisa kembali ke kantor desa.
"Pak, bangun pak, saya sudah selesai memberi makan sapinya." Kataku sambil mengoyangkan bayunya. Namun hanya dibalas dengan sebuah erangan.
"Pak bangun pak!" ucapku sedikit membentak.
"Kenapa sih sayang. Sini tidur denganku." Tangannya menariku hingga aku terduduk. Tangan lainnya menarik pinggulku hingga aku tidur di sampingnya. Kugunnakan semua tenagaku untuk keluar dari pelukannya. Namun tangan Pak Ilham sangat kuat.
"Pak ini aku Dian pak!" Bentakku lagi. Diapun kaget dan seketika melepaskan pelukannya.
"Ehh maaf nak saya kira istri saya."
Aku tidak mau mendengar penjelasannya. Langkahku bergerak cepat. Napas cepat dan dada berdegup kencang.
"Tolong antar saya ke balai desa pak." Ucapku sambil meninggalkan pondok.
KAMU SEDANG MEMBACA
KKN Bergairah
Roman d'amourCerita Dewasa untuk 18+ Menceritakan sekelompok mahasiswa yang melakukan kegiatan KKN disebuah desa terpencil. KKN identik dengan cerita yang untuk dan membekas bagi anggotanya. Bagaimana enam orang mahasiswa ini menjalani keanehan-keanehan yang mer...