Chapter 8

10.4K 74 5
                                    

Matanya kini merah. Air mata berusaha untuk ditahannya. Dian tidak ingin teman-temannya menyadari apa yang telah dialaminya. Sebisa mungkin dia harus menyembunyikannya. Mana mungkin pelecehan yang baru saja dialaminya diketahui banyak orang.

Mereka kini tengah duduk di balai desa. Sebuah meja besar berada di bagian depan balai desa. Cukup untuk mereka berenam. Gilang, Candra dan Bima duduk diseberang Dian. Anton dan Dika duduk disebelahnya.

Anton dan Dika tampak sibuk dengan ponselnya. Berusaha mencari sinyal. Tak lupa sebatang rokok bertengger dijemari mereka. Candra sedang mencari catatan hasil wawancaranya yang entah dimana dia simpan.

Dian merasa ada yang aneh dengan Gilang. Dia merupakan orang kedua yang sering mengambil alih diskusi. Selain diri Dian sendiri. Namun hari ini dia hanya banyak terdiam. Pandangannya lebih sering terfokus pada jari-jemarinya yang sejak awal pertemuan terus terpaut. Matanya tampak memerah.

Apakah dia juga mengalami masalah di rumah singgahnya? Tapi tidak mungkin itu juga terjadi padanya.

Alis Dian sedikit mengkerut ketika menyadari sebuah tatapan tajam tertuju padanya. Berasal dari Bima yang duduk tepat di depannya. Tangan kanan bersandar pada sandaran kursi. Berlagak sangat angkuh. Membuat Dian sedikit risih.

Pandangannya tetap tajam. Namun Dian bisa merasakan aura merendahkan dari Bima. Jika ditanya siapa orang yang paling Dian benci, maka Bima berada di urutan nomor dua. Tentu saja si tua bangka Ilham berada di urutan pertama.

Karena orang sialan ini aku harus menerima pelecehan dari si tua bangka itu. semua ini gara-gara dia.

"Apa lu ngeliatin gue kayak gitu!" bentak Bima sambil memukul meja setelah mendapat pandangan penuh dendam dari Dian.

"Wo woo. Selow bro. Lu kenapa emosi." Lerai Candra sambil memegangi Bima.

"Bencong ini ngeliatin gue." Kata Bima masih dengan suara kerasnya.

"Santai dong. Jugaan Cuma diliatin doang." Sambung Anton. "Kan enak diliatin Dian." Tawa keras keluar dari mulut Anton dan Candra. Gilang yang masih mencoba memahami catatannya pun ikut tertawa kecil.

"Najis banget diliatin bencong." Kata Bima ketus.

Dian yang tak tahan dengan semua yang didengarnya beranjak menuju toilet. Bukan karena dia ingin buang air. Melainkan kupingnya sering tidak tahan jika mendengar teman-temannya mulai menyebutnya dengan sebutan bencong. Apa-apaan sebutan itu. Aku ini bukan bencong!

"Hei jangan marah dong Yan. Kita kan Cuma bercanda." Suara Anton.

"Yaya." Balas Dian singkat sambil melanjutkan langkahnya.

Saat ini dia sangat butuh waktu sendiri. Mencoba mencerna apa yang telah dia alami dalam dua hari menjalani KKN di desa sialan ini. Masih ada dua puluh delapan hari lagi. 28 hari lagi untuknya tinggal di rumah Pak Ilham. Apakah dia akan terus merasakan pelecehan itu lagi selama hari-hari selanjutnya? Tentu saja dia tidak ingin itu semua terjadi lagi. Dia harus memberanikan diri pergi dari rumah itu. Pasti ada warga yang mau menampungnya.

Bima sialan itu juga tidak mau membantunya sama sekali. Mereka sudah jelas berada dalam satu dusun. Jarak rumahnya yang paling dekat dengan rumah Pak Ilham. Andai saja Bima mau menjemputnya. Semua itu tidak akan pernah terjadi. Tidak akan pernah dia memegang kontol milik orang lain. Tidak akan pernah merasakan cairan peju menyentuh wajahnya. Dian bisa merasakan asin dari peju yang tidak sengaja masuk ke mulutnya. Memikirkan itu saja sudah membuatnya ingin muntah.

Dian mencoba menutup pintu ketika sebuah kaki mengganjalnya. Sebuah dorongan kuat menghentaknya hingga terjungkal ke dinding kamar mandi. Bima menyelinap masuk dan mengunci pintu kamar mandi. Seketika rasa takut mulai menyelimuti Dian.

Perlahan Bima mendekat. Mendesaknya di dinding. Tangan kanannya kini berada di leher Dian. Tubuh mereka saling terhimpi. Genggaman tidak begitu keras, namun tidak ada celah sama sekali dari genggaman itu.

Dian berusaha melepaskan genggaman Bima. Tangan kecilnya mulai mencakar tangan Bima. Namun bukannya terlepas, genggaman Bima kini makin keras.

"Ukuhhhh. Too.. long." Ucap lirih Dian berusaha menarik napas sekuat tenaga.

"Gue ga suka lu ngeliatin gue kayak gitu. Bencong kayak lu berani sama gue?" Bentak Bima.

Dian hanya bisa menggeleng pelan. Darah tampak memenuhi wajahnya. Membuatnya terlihat merah menyala. Dian bisa merasakan kesaranannya mulai menurun ketika perlahan genggaman tangan Bima mulai mengendur.

"Lu harus hormat sama gue. Ngerti!" Bentaknya. Dian hanya mengangguk. Air mata mengalir deras membasahi pipinya. Tenaganya benar-benar hilang. Membuatnya terjatuh dan bersimpuh di lantai.

"Cengen banget ni bencong. Haha." Bima tertawa terbahak. "Lu ngehalangin gue, minggir, gue mau kencing."

Tidak ingin merasakan hal yang sama, dia perlahan merangkan menjauhi toilet. Namun Bima menghalangi langkahnya.

"Mumpung lu disini. Lu bisalah bantuin gue." Katanya Bima. Tangannya kini membuka kancing dan retsleting celana jeansnya. Namun membiarkan celana dalamnya masih menutupi kontolnya. "Bantuin gue kencing. Buka celana gue dan arahin kontol gue."

Dian terkejut mendengarnya. Matanya terbuka lebar. Tidak mungkin ini semua terjadi lagi. Pasti dia sedang mimpi saat ini. Tidak mungkin dia memegang kontol dua orang laki-laki dalam satu hari seperti sekarang. Namun rasa sakit di lehernya kembali menyadarkannya bahwa ini semua bukanlah mimpi. Ditambah Bima kini tengan membuka tangan kanannya sebagai isyarat bahwa dia bisa kapan saja mencekik leher Dian kembali.

"Tolong Bima, aku tidak bisa." Ucap Dian lirih. Pandangannya mengarah ke gundukan di selangkangan Bima.

"Tidak bisa apa? Bencong kan suka kontol." Tangannya kini melingkar di leher Dian. "Lu ga inget kata gue tadi? Bencong harus hormat sama gue!."

Dian yang tidak mau merasakan sakit lagi perlahan mengarahkan tangannya ke selangkangan Bima. Menarik celana dalamnya. Namun Bima tidak mempermudahnya. Kedua kakinya kini menyatu. Membuat Dian kesulitan untuk menurunkan celana dalam sialan itu. Kini tangan kirinya merogoh masuk, berusaha mengeluarkan kontol Bima.

Dian tertegun sejenak. Kontol Bima sangat panjang. Bahkan lebih panjang dari milih Pak Ilham. Lebih kurus, namun masih tetap besar jika dibandingkan dengan kontol kecil Dian.

"Haha, udah gue duga, lu suka kontol. Gimana, lebih gede dari punya lu?" Sindir sinis Bima. Dian bisa merasakan pipinya memanas. Dia tidak pernah suka jika orang lain membandingkan fisiknya.

Dian sedikit bergeser untuk memberikan akses Bima buang air. Suara percikan air kini terdengar. Begitu lama terasa bagi Dian ketika dia harus terus mengarahkan kontol Bima. Dian hendak memasukkan kembali kontol Bima ketika tangannya dihentikan.

"Hei, keringkan dulu kontol gue."

"A.. aku."

"Apa!" Bentak Bima.

"Aku ga mau Bima. Tolong jangan paksa aku." Pinta Dian.

"Haha. Lu pikir gue pingin lu ngisep kontol gue? Gue ga ada nyuruh tapi lu udah berpikir gitu haha." Dian sangat membeci tawa jahat yang keluar dari mulut Bima itu. "Gue pengen lu ngeringin pake baju lu, tapi kalo pake mulut juga gapapa." Katanya sambil mendekatkan kontolnya ke wajah Dian yang sontak membuat dian mundur menghindar.

Dian menyibakkan baju bawahnya dan mulai mengusap ujung kontol Bima.

"Hmmm. Harusnya lu pakai mulut."

Bima menarik kontolnya dan mulai memasukkannya sendiri sambil beranjak meninggalkan kamar mandi. Sesaat dia menoleh kebelakang. Memberi senyuman yang bisa membuat Dian merinding seketika.

"Good boy." Kata terakhir yang keluar dari mulutBima.

KKN BergairahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang