Siang itu kapal yang tidak terlalu besar melaju di sebuah selat, yang sejujurnya tidak terlalu bagus. Seperti hanya untuk mengantarkan seseorang dari daerah 1 ke daerah yang lainnya. Sebenarnya jarak antar pulaunya tidak terlalu jauh, namun masih membutuhkan kapal atau perahu untuk berpindah.
Di sana, ia berdiri memperhatikan lautan. Angin laut menerpa wajahnya, membuat rambutnya sedikit acak. Seakan matanya kebal karena siang itu sangat terik, matahari memantulkan sinarnya langsung ke lautan, percayalah itu akan membuat matamu sakit. Bahkan penumpang yang lain berada di dalam kapal karena panas matahari sangat menusuk kulit dan juga mata.
Hari ini, 3 Januari 1991. Aku mengambil kalung salibku dan memandangnya. Aku bukan manusia suci yang kebanyakan orang bilang. Memang aku religius, mungkin hampir, tapi tak ada yang tau apa yang ada dibalik dinding yang ku bangun ini.
Perjalanan hidup manusia yang menuntun adalah masa lalu, karena aku bisa melangkah sampai sini karena ada masa lalu yang menjadi sebabnya. Tidak ada takdir atau apapun itu, aku percaya ada sebab akan ada akibat. Tuhan tidak bermain dadu kan?
Kapal sudah sampai di pulau tersebut, terlihat masih ada beberapa perahu milik penduduk yang sudah tua, catnya luntur, berlumut, dan seperti sudah lapuk. Namun terlihat masih sering digunakan, serta 1 sampan untuk penjaga pulau jika diperlukan. Pantai berpasir putih itu masih sangat bersih, banyak sekali pohon yang tumbuh dan membuat pantai itu lebih hijau, tidak ada sampah sama sekali. Bahkan sampah ranting pohon dan daun-daun kering dikumpulkan di satu titik.
Mereka datang ke rumah penjaga pulau sebelumnya untuk mereka gantikan dengan yang baru.
Rumah yang terbuat dari kayu itu berisikan 1 kamar tidur, 1 dapur dan 1 kamar mandi. Masih sangat sederhana dan memasakpun masih memakai kayu bakar. Namun rumah itu telah kosong, seperti rumah yang sudah tidak duhuni selama beberapa bulan. Isi rumah itupun sedikit berantakan dan sangat berdebu.
Di pulau itu penjaga tidak akan sendirian, karena ada penduduk yang sudah menetap selama puluhan tahun. Tidak banyak, mungkin sekitar 8 sampai 10 kepala keluarga. Kapten kapal segera pergi ke rumah kepala desa bersama dengan yang lainnya.
Jalannya masih terbuat dari tanah, namun sangat banyak pohon rindang menjadikan tempat itu sangat nyaman untuk sekedar berjalan kaki. Daun-daun kering berjatuhan karena angin meniupnya. Sama seperti di depan, ranting pohon yang jatuh disusun di pinggir jalan, seperti sangat menghargai pejalan kaki.
Pria setengah abad itu mengetuk pintu rumah kepala desa yang memang selalu ditandai dengan bendera kain hijau. Rumahnya masih terbuat dari kayu, tidak beda jauh dengan rumah penjaga pulau di depan. Tapi lebih sedikit besar dan ada tempat duduk terbuat dari bambu yang cukup untuk beberapa orang.
Dugg.. Dugg.. Dugg..
Suara gedoran oleh kapten tersebut, karena diketuk tidak ada sahutan sama sekali. Setelah menggedor-gedor pintu kayu dan memanggil beberapa kali, keluarlah seorang pria muda.
Lama sekali membukakan pintu saja, apa dia 'kekurangan'?
"Maaf, apakah kita saling mengenal?"
Apa begini caranya menyambut orang tua? Bagaimana cara didik si tua kepala desa itu.
"Oh, kami di sini untuk bertemu dengan kepala desa. Apa dia masih di sini?"
"Ayah saya sedang ada di luar, kalian pasti buru-buru, pulanglah"
Cih, tanpa kau suruh pulang juga aku akan pulang, bahkan jika bisa aku tidak mau menginjakkan kaki ku di tanah ini. Dasar bocah kurang ajar dengan pendengaran terganggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay Here [Completed] - SINGTO×KRIST
Fiksi Penggemar[Boys Love] Seorang pemuda bernama Singto Prachaya ditugaskan untuk menjaga sebuah pulau yang ternyata menganut aliran sesat. Di sana, Singto bertemu dengan anak penduduk desa yang bernama Krist Perawat yang ternyata memiliki keinginan yang sama unt...