1. Idola Sekolah

156 18 10
                                    

Biarkan aku menjadi duri dalam tangkaimu, tapi setidaknya aku bisa melindungimu walau menyakitkan

***

"Woy, lempar kesini lah." Suara teriakan dari lapangan terdengar sampai ke dalam kelas.

Banyak sekali siswa-siswi yang asik menonton pertandingan basket antar kelas, walaupun mereka harus rela duduk di emperan taman yang kadang terhalang oleh pagar tanaman penghias taman kecil di pinggir lapangan.

"Cha, ayo nonton kayanya seru tuh." Meta menarik-narik Icha untuk ikut dengannya ke lapangan.

"Ogah ah, lo aja sana. Enggak tertarik gue juga."

"Ih, Cha, ayo dong, sebentar aja, kita nonton dari depan kelas deh."

"Enggak mau, Ta. Lo aja sana, gue ada PR yang belum selesai ini. Duh ribet deh lo." Icha masih asik mengerjakan tugas yang memang lupa ia kerjakan di rumah. Lembar demi lembar ia buka untuk bisa menemukan jawaban dari soal yang ada di dalam buku paket.

"Ya udah, gue sendiri aja."

"Hhmm." Icha tak peduli dengan kepergian Meta, ia lebih peduli dengan tugas yang akan dikumpulkan nanti saat bel berbunyi.

Icha Kirana, siswi kelas 3 SMK di SMK Sejati yang mengambil jurusan Akuntansi. Anak yang pandai dalam hal berhitung apalagi jika mulai menghitung dan membuat laporan keuangan, ia akan serius dan tidak bisa diganggu.

Ia juga anak yang baik, walaupun sedikit tomboy dengan hobby kuncir kuda di rambutnya, tapi itu tetap membuatnya terlihat cantik.

Ia juga memiliki sahabat yang super lemot seperti Meta Andriani, walaupun begitu ia sangat menyayangi sahabatnya. Meta yang selalu menghibur dia apapun keadaannya.

Icha masih mengerjakan soal yang hampir selesai, sesekali ia juga melirik keluar karena teriakan orang-orang di luar sana sedikit mengganggu konsentrasinya.

"Yeiiiii! Damar keren!"

"Damar hebat."

"Damar memang andalan ya."

Samar-samar Icha mendengar cewek-cewek diluar kelas mengelu-elukan Damar, pebasket andalan SMK Sejati. Telinga Icha terasa panas mendengarnya, terasa mual setiap kali orang memujanya.

"Sok keren," ucap Icha lirih.

"Cha, Cha, Cha!" Meta tergopoh-gopoh menghampiri Icha yang masih belum selesai mengerjakan tugasnya.

"Apa lagi sih, Ta," ucapnya kesal.

"Lo tahu Cha, ada anak Administrasi barusan nembak Damar di lapangan loh, Cha."

"Hhmm"

"Tapi sayang di tolak sama Damar, Cha. Katanya masih ada hati yang harus dijaga. Emangnya dia punya pacar ya, Cha?"

"Hhmm"

"Ihh, Ichaaaaa!! Gue kan lagi ngomong sama lo, Cha."

"Apalagi sih, Ta. Lo kan lihat gue lagi ngerjain tugas, ngapain sih malah curhat masalah enggak penting gitu."

"Ini penting, Cha. Malah penting banget, siapa ya Cha kira-kira pacarnya Damar?"

"Mana gue tahu, gue juga enggak peduli, udah deh jangan ganggu gue dulu, dikit lagi kelar nih." Icha melanjutkan tugasnya.

"Siapa ya pacarnya Damar?" guman Meta, ia tak peduli walaupun sudah di maki-maki Icha tetap saja ia penasaran siapa yang sudah berani merebut hati pangeran tampan satu sekolah itu.

***

Peluh masih membasahi rambutnya yang sedikit panjang, sesekali tangannya masih menyeka menghalanginya masuk ke mata.

Sayup-sayup masih terdengar namanya di elu-elu kan, tapi ia menganggap itu biasa terjadi. Seorang gadis datang menghampirinya dengan sedikit berlari, dengan sebuah coklat yang terikat pita pink ada di genggamannya.

"Damar!," ucapnya sedikit kencang.

Si empunya menoleh dan melihat siapa yang memanggilnya.

"Iya," jawabnya.

Gadis itu tak langsung berkata apa-apa, wajahnya terlihat gugup dan gemetar. Damar juga hanya diam menunggu apa yang akan gadis itu lakukan.

"Ini buat lo." Gadisnya menyodorkan coklat yang tadi dibawanya.

"Terima kasih." Damar menerimanya, tapi coklat itu tak juga dilepas si pemilik nama Jian, ia tahu dari belt yang terpasang di dada kirinya.

"Eh iya maaf," ucap Jian, ia lepaskan coklat itu.

"Damar, lo mau ya jadi pacar gue!" Jian mengucapkan itu dengan mata terpejam, berharap kekuatan datang menghampirinya.

"Ini ceritanya lo lagi maksa gue?" tanya Damar.

"Enggak kok, enggak gue enggak maksa lo."

"Tapi yang lo ucapin barusan itu pernyataan bukan pertanyaan."

Jian tak berani menatap Damar. Hatinya sedang menggebu, ia bingung harus bersikap normal yang seperti apa. Semua mata tertuju padanya, semua juga ingin sekali mendengar jawaban Damar, pria yang menjadi idola satu sekolah walaupun terkenal nakal, tapi masih dalam batas wajar anak sekolah.

Hening, tak ada yang berani bergerak, semua siswa terutama wanita seakan berharap tak ada pernyataan 'iya' keluar dari mulut Damar.

"Jian ..."

Damar memegang kedua pundak Jian yang justru membuatnya semakin gemetar. Bibirnya kelu, senang dan bingung bercampur jadi satu.

"Maaf, gue enggak bisa, ada hati yang masih harus gue jaga sampai saat ini," ucap Damar dengan senyuman yang teramat manis, membuat semua yang lihat meleleh dibuatnya.

"Huuuuuu!!!" Seluruh siswa yang melihat menyoraki mereka berdua, tapi Damar tak peduli itu.

"Semoga lo bisa dapet cowok yang bisa nerima lo, oke."

Jian mengangguk tanpa mengeluarkan kata.

"Gue cabut dulu, but thank's to this." Damar melambaikan coklat pemberian Jian tadi dan pergi bersama teman-temannya.

Damar berjalan di koridor dengan teman-temannya ke kelas. Dimana ia juga sekelas dengan Icha dan Meta. Masih dengan celana abu-abu dan kaos oblong putih basah karena keringat yang ia kenakan, ia kembali ke kelas.

"Dam, serius lo tolak cewek cantik plus polos kaya Jian gitu?" tanya Ehsan salah satu sahabatnya.

"Tahu, Dam. Kan lumayan tuh bisa lo kerjain dikit-dikit," tambah Mail.

"Enggak lah, gue udah tobat yang begituan."

"Gaya lo, Dam, Dam. Emang dosa apa sih loh dulu sampai harus tobat segala?" Mail penasaran.

"Dosa yang sampai sekarang belum bisa gue tebus."

"Ya terserah lo deh," ucap Mail tak acuh.

Mereka bertiga berjalan beriringan sampai Mail tak sengaja menyenggol meja Icha yang masih berkutat dengan tugasnya.

"Woy! Kalau jalan yang bener dong! udah tahu gang nya sempit pakai mundur-mundur. Lo manusia apa undur-undur sih," ucap Icha marah karena pekerjaannya yang terganggu.

"Ya ampun, Cha galak amat sih, ya maaf gue kan enggak sengaja."

"Makanya kalau jalan tuh pakai mata!" Icha kembali melanjutkan tugasnya.

"Dimana-mana jalan itu pakai kaki, Cha. Masa pakai mata."

Mail yang menyahut langsung dapat tatapan tajam dari Icha.

"Makanya kalau ada PR itu kerjain di rumah bukan di sekolah, gimana sih siswi teladan ini." timpal Damar yang semakin menyulut emosi Icha. Tapi ia tetap menahannya, ada yang lebih penting dari pada mengurusi orang gila.

Meta yang dari tadi hanya memperhatikan tak berani bersuara sampai bel sekolah berbunyi.

Semua siswa kembali ke meja nya masing-masing, tak malu Damar juga mengganti pakaiannya di kelas dengan seragam.

"Ayo, tugas yang kemarin ibu kasih, tolong di kumpulkan," ucap Bu Siska guru kewirausahaan.

***

Mengejar Cintamu LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang