14. Sembunyi Dalam Diam

16 3 1
                                    

Tak ada yang namanya bohong demi kebaikan, sebab pada akhirnya tetap akan ada rasa kecewa karena sudah merasa terkhianati

***

"Dam, makan dulu, gue udah siapin nih." Dania merapikan meja makan, menyingkirkan beberapa piring yang memang tidak terpakai.

"Ia Kak, bentar." Damar masih asik dengan laptop dihadapannya.

Dania sudah selesai, tapi panggilannya tetap saja diabaikan.

"Dam! Lo punya kuping enggak? Sini makan dulu baru lo lanjutin urusan lo itu."

"Bawel, isshh!!" Dengan terpaksa Damar membereskan pekerjaannya dan menghampiri Dania dimeja makan.

"Gue bawel begini juga karena sayang sama lo, buruan makan terus minum obat lo."

"Iya kakakku yang cantik tiada tara."

Sebenarnya Dania tidak ingin berlaku kasar seperti biasanya itu, tapi ini memang permintaan Damar yang tidak ingin diperlakukan istimewa hanya karena dia sakit. Damar cuma ingin keadaan di rumah baik-baik saja seperti biasa, tidak ada yang berubah, sebab itu akan membuat Damar merasa kalau dirinya masih saja sama.

"Dam, lo mau sampai kapan sembunyi dari Icha, memangnya lo enggak kasihan apa sama dia, hampir tiap hari loh dia kesini cuma buat mastiin lo ada apa enggak."

Damar hanya terdiam, terselip rasa rindu yang sangat dalam untuk Icha, sudah hampir sebulan ia tidak bertemu dengannya dan tiap kali Icha datang ia hanya bisa melihatnya dari jauh. Melihat wajah Icha yang selalu pergi dengan kekecewaan.

"Gue enggak mau dia lihat gue kaya begini, Kak."

"Ya terus lo mau apa? Masa lo mau Icha kaya gitu terus, kasihan lah anak orang. Setidaknya berikan kepastian buat dia, jangan lo sembunyi terus kaya gini."

"Gue belum siap Kak, gue enggak mau dia kecewa lagi karena gue. Kesalahan gue yang dulu aja belum bisa gue tebus."

Dania menghampiri adik semata wayangnya itu. "Semua keputusan ada di lo, jangan kecewain dia yang udah peduli sama lo." Dania menepuk pundak Damar dan meninggalkannya sendiri.

Damar terdiam, ia melihat pantulan dirinya di cermin yang terpasang di lemari samping meja makan. Semuanya berubah, Damar yang sekarang tidaknya seperti yang dulu. Memang sudah takdir dan jalan hidupnya seperti ini, bersanding dengan sesuatu yang tidak pernah ia inginkan sebelumnya.

Ia kembali ke kamar dengan membawa segelas air hangat, diletakkannya diatas nakas samping foto kebersamaan mereka dulu. Damar tersenyum nanar, rindu itu menyiksa, mengganjal di dada dan sesak.

"Apa kabar lo sekarang, Cha? Gue kangen banget sama lo, tapi gue juga enggak mau ngecewain lo lagi." Damar mengusap foto itu. 

"Dam." Dania muncul dari pintu kamar Damar.

"Kenapa, Kak?"

"Icha tuh. Lo enggak kasihan apa dia bolak-balik terus kesini." Dania memberitahu bahwa Icha datang lagi ke rumah mereka.

"Tolong jelasin ke dia kak, bilang gue udah enggak tinggal lagi disini, bilang aja gue nyusul Papa Mama  ke luar kota, pindah kesana."

"Lo yakin?"

"Iya Kak, gue kasihan lihat dia terus kaya gini."

Dania keluar dari kamar Damar, ia menemui Icha yang sudah menunggunya di teras rumah.

"Hei, Cha," sapa Dania.

"Kak, Damarnya ada?" tanya Icha to the point.

Dania membenahi duduknya, ia tersenyum manis sebelum menyampaikan keinginan Damar itu.

"Cha, kayanya lo udah enggak perlu repot kesini lagi deh, lo juga udah enggak perlu capek-capek nyariin dia lagi."

"Loh kenapa memangnya kak, apa terjadi sesuatu sama Damar."

"Enggak Cha, Damar baik-baik aja, cuma dia sekarang udah memutuskan buat pindah ke Surabaya ikut mama dan Papa disana, nanti pun kalau gue udah selesai kuliah juga bakalan nyusul kesana kok. Jadi lo enggak usah repot-repot kesini lagi, Damar juga udah enggak ada disini lagi."

"Kenapa dia enggak pamitan dulu sama aku kak, kenapa perginya mendadak sekali begini?"

"Mama yang minta begitu, makanya Damar langsung berangkat kesana."

"Sekarang mending lo fokus sama sekolah lo yang sebentar lagi mau ujian juga. Lo enggak perlu khawatir lagi soal Damar. Dia sendiri kok yang memutuskan buat pergi."

Lagi-lagi Icha merasakan kecewa yang disebabkan dari orang yang sama. Setelah sekian lama akhirnya Icha bisa melunakkan hatinya, tapi ia harus menelan pil pahit kehilangan dia lagi.

Damar menatap nanar kepergian Icha, ingin sekali ia merengkuhnya dan berkata jangan bersedih tapi bibirnya kelu, ia tak ingin menambah luka hati Icha lagi.

***

Nuansa pastel menjadi pilihan Icha untuk kamarnya, terkesan menyejukkan dan damai. Tapi kali ini hatinya sedang tidak berdamai, disaat ia mulai menerima kehadirannya, malah justru dirinya pergi.

Kamar ini menjadi saksi kalau hatinya yang keras mulai mencair dengan semua kebaikan yang terlihat tulus dari laki-laki yang dulu sangat dibencinya.

"Kenapa lagi-lagi lo buat gue kecewa sih, Dam. Apa salah gue sama lo." Icha menangis sejadi-jadinya. Hatinya lelah, ia ingin bisa menumpahkan semua kesedihannya.

"Kak." Adam mendengar suara isak yang lirih dari arah kamar kakaknya, ia mengintip dari pintu yang sedikit terbuka.

"Kakak enggak apa-apa?" tanya Adam sekali lagi. Icha yang mendengar itu langsung saja mengusap wajahnya, menghilangkan bulir bening yang mulai jatuh ke pipi.

"Enggak Dam, kakak enggak kenapa-napa."

Adam yang sudah masuk ke kamar kakaknya tidak percaya kalau ia baik-baik saja.

"Kakak perlu teman?" tanya Adam sekali lagi, terdengar ketulusan yang ia ucapkan, rasa khawatir yang ia rasakan pada saudari satu-satunya itu.

Icha yang mendapat perlakuan itu seketika menangis sejadi-jadinya, ia memang butuh sandaran walaupun sebentar saja. Adam hanya diam dan membiarkan sang kakak menumpahkan perasaannya. Ia usap lembut punggung Icha agar sedikit tenang.

"Kenapa dia pergi, Dam?" tanyanya kesal.

"Kenapa dia pergi disaat kakak mulai bisa nerima dia lagi. Apa ini karma karena dulu kakak benci banget sama dia." Masih dalam tangis Icha bersuara.

"Kakak mulai cinta ya sama dia?" tanya Adam hati-hati.

Icha tidak menjawab, ia bingung dengan perasaannya sendiri saat ini.

"Kalau memang kalian berjodoh, suatu saat Allah pasti akan mempertemukan kalian lagi. Kak Damar pasti datang lagi ke kakak, atau mungkin kakak yang bakalan nemuin dia."

"Bahagia, bersedih, kecewa sewajarnya saja. Mungkin Allah cuma mau tahu berapa besar ketulusan yang kakak punya buat dia."

"Kok kamu sok bijak sih Dek?"

"Enggak tahu, mungkin efek dengerin kutbah jum'at di mesjid tadi kali, makanya agak waras. Udah ah kak jangan nangis. Asli kakak jelek banget, mana ingusan pula lagi, malu-maluin."

"Adam!!"

Adam pergi meninggalkan kakaknya, ia tahu Icha butuh waktu sendiri untuk bisa membenahi hatinya.

"Oh ya kak, kakak kalau mau nangis yang keceng sekalian jangan pelan-pelan begitu. Serem kaya tante kun," ucap Adam sebelum akhirnya kabur dan menghilang dari balik pintu.

"Adaaammmm!!!!"

***

Mengejar Cintamu LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang