Suara di Balik Pintu

43 7 0
                                    

Satu orang perawat datang untuk menilik kondisi Riana di kamar kelas satu (deluxe) rumah sakit tersebut.
Bolpoin dan catatan berisi perkembangan kesehatan pasien dipegangnya. Perawat tersebut memeriksa perkembangan Riana yang terlihat semakin membaik. Beberapa saat kemudian, dokter datang dengan satu perawat lagi yang mendampingi.

"Dokter Richard,hallo." Perawat yang lebih dahulu masuk ke kamar menundukkan kepala sebagai tanda hormat kepada dokter.

"Bagaimana, Suster?" tanya dokter.

"Jika dari sisi medis, pasien terlihat semakin membaik, Dok," jelas Suster.

"Baguslah," ucap dokter sambil mengangguk-anggukan kepala.

Riana yang masih membuka netranya masih tidak memperdulikan pembicaraan mereka. Wajahnya selalu berpaling dari siapa saja yang datang. Termasuk dokter yang menangani dirinya.

"Hallo, gadis cantik." Dokter Ricard menyapa, berusaha mencairkan suasana hati Riana yang masih gelap.

"Kalau Dek Riana merasa ada yang sakit, bisa menghubungi perawat kami," tuturnya.

"Tidak, Dok. Terimakasih," tepis Riana dengan wajah yang masih berpaling.

"Alhamdulillah, sekarang sudah terdengar suaranya dan keliatan lebih baik," tutur Dokter Ricard. Dia tersenyum melihat pasiennya ada kemajuan. Pasalnya, semenjak kejadian nahas itu, Riana tidak mau ditemui siapapun termasuk kerabatnya. Dia juga enggan bersua dengan perawat dan dokter.

"Baiklah kalau begitu, jika kondisimu semakin membaik, dua hari lagi keluargamu akan menjemputmu untuk pulang," jelas dokter.

Dokter dan dua perawat tersebut kemudian meninggalkan Riana. Mereka angkat kaki dari ruang tersebut.

Denting waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Di kamar yang berukuran 3x3 meter tersebut hanya berisi satu orang pasien. Satu lemari kecil, satu sofa, dan satu meja tertata dengan rapi. Hanya televisi yang menemani kesunyiannya malam ini. Namun, televisi tersebut hanya Riana hidupkan tanpa suara.

Ranjang pasien yang Riana pakai mengarah ke jendela sehingga pasien bisa melihat pemandangan di luar. Kala malam hari, kerlip lampu yang menyala dari gedung-gedung bertingkat dan disekitarnya membuat suasana syahdu dan terlihat indah. Riana memandang jauh ke arah luar.

"Ayah, Ibu, Riana rindu." Hatinya bak dipenuhi paku-paku yang menancap. Perih yang tak tertahankan membuat air matanya selalu berlinang.

Saat hati dan pikirannya jauh mengingat kejadian yang tidak pernah dia inginkan. Suara gumaman seseorang terdengar dari balik pintu kamarnya. Riana memperhatikan dan mendengarkan dengan saksama. Seorang laki-laki seperti sedang mencari sesuatu. Dia terdengar bergumam. Suaranya pelan, tapi setelah itu berubah menjadi teriakan keras.

"Ah, ke mana dokter itu pergi? Bukannya tadi dia menuju ke arah sini? Kenapa aku tidak bisa menemukannya?" Ken, dia mondar-mandir di depan kamar rawat Riana. Mencari paramedis yang menangani dirinya.

"Dokter! Suster! Ah! Shit! Ke mana mereka?" Teriak Ken. Dia kesal karena gagal mengikuti ke arah mana mereka pergi.

"Hey, kamu! Bisa pelankan suaramu? Ini rumah sakit, bukan hutan. You know?" Satu orang wanita muda dan satu orang laki-laki paruh baya muncul dari arah belakang Ken.

Wanita muda yang mengenakan piyama rumah sakit dengan kepala terikat perban terlihat geram melihat kelakuan Ken. "Teriakanmu mengganggu!" Dia mendorong Ken dengan kuat.

Ken yang tidak menerima perlakuan kasar seperti itu, mendekati wanita tersebut dengan tatapan tajam. Manik matanya melotot dan kedua tangannya mengepal. Saat dia hendak membalas kemarahannya, laki-laki yang rambutnya dipenuhi uban dan mengenakan jaket kulit hitam mendekatinya. Laki-laki paruh baya itu mencoba menghentikan Ken. Namun, Ken masih berada di atas kemarahannya.

"Sudah! Cukup! Hentikan!" Laki-laki itu mencengkram kedua tangan Ken dengan kuat. Sementara wanita muda masih berdiri dengan raut yang tidak menyenangkan.

"Lepaskan! Siapa kalian?" tanya Ken kesal.

"Kamu juga siapa? Kenapa kamu berkeliaran dengan kondisi seperti ini? Kamu bahkan tidak memperhatikan penampilanmu," ucap laki-laki paruh baya dengan tubuh yang masih terlihat kekar. Dia memperhatikan Ken dari ujung kaki hingga ujung kepala.

Ken masih tidak menjawab pertanyaannya itu. "Hey, lihatlah! Tubuhmu dipenuhi darah dan wajahmu tampak begitu kusut," sambung wanita muda.

Ken yang mulai meredam emosinya, mulai menyadari bahwa dirinya memang terlihat begitu payah dan berantakan. Dia mengangkat kedua telapak tangannya yang bersimbah darah. Memperhatikan dengan napas tersenggal-senggal.

COMATO GHOSTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang