Awal Pertemanan

22 6 0
                                    

Perempuan paruh baya itu kian menjauh. Sosoknya tak lagi terlihat. Riana kembali ke arah Ken yang masih berdiri. Gawai masih dipegangnya dan diletakkan kembali ke telinga. Netranya memperhatikan orang-orang yang berada di dekatnya.

"Ken, kamu ngapain di sini? Ayo ikut aku ke luar," pinta Riana tanpa basa-basi. Dia tidak mau gerak-geriknya akan menimbulkan kecurigaaan orang lain.

"Hah? Why am i here? Harusnya aku yang bertanya seperti itu, why are you here? gadis itu, ah!" seru Ken. Rautnya terlihat bingung melihat gelagat Riana tersebut.

"H—hey! Kamu!" Ken menunjuk ke arah Riana sambil berlari mengejarnya.

****

Di dekat pintu masuk rumah sakit, berjejer kursi yang disediakan untuk pengunjung atau pasien yang berada di rumah sakit tersebut. Riana mengambil tempat yang tidak begitu ramai. Karena waktu kian larut, pengunjung pun tidak terlalu padat seperti saat matahari menampakkan dirinya.

Laki-laki yang selisih empat tahun usianya itu duduk di samping Riana. Cukup lama keduanya berdiam tanpa ada yang mau mendahului pembicaraan. Hingga akhirnya Ken memandangi dan berpikir heran pada gadis berwajah oval tersebut. Dia duduk bersilang kaki dengan kedua tangan di depan dada. Sesekali Ken membetulkan posisi duduknya.

"Kenapa liat aku seperti itu?" Riana memulai pembicaraan. Dia mulai tersipu karena pandangan Ken yang tak lepas dari dirinya.

"Ngapain kamu ke sini? Oh, ya, namaku Kenzo, bukan Kenan," tegas Ken. Kedua bola matanya menatap tajam. Rautnya yang dingin dan tampan memang mampu menghipnotis siapa saja yang melihatnya.

"Oh, aku? Eumm .... " Riana menghentikan pembicaraanya saat beberapa orang melintas di hadapan mereka. Masker jenis KN95 yang sengaja dia bawa dari rumah pun dikenakannya. Benda tersebut sengaja dia bawa untuk menghindari kecurigaan orang lain yang tidak bisa melihat keberadaan Ken.

"Kalau aku menyebut nama aslimu, ibumu pasti makin curiga. Lagian, Om ku pasien di rumah sakit ini, jadi aku mau nengokin sekalian mau tau keadaan kamu," jawab Riana tanpa memandang ke arah Ken. Dia merasa gugup dengan tatapan tajam laki-laki di sebelahnya itu.

"Tapi, bukankah ini sudah terlalu malam untuk jam besuk?" Lontar Ken.

"I—iya sih, tapi Om ku menempati kamar VVIP, jadi aku masih bisa masuk ke sini. Hh—hehe .... " kedua sudut bibir riana terangkat dengan kaku. Sesekali dia menggaruk kepala dan berpura-pura membetulkan poni.

"Lagian, kamu ngapain, sih, menatapku seperti itu? Apa perlu kucolok kedua matamu?" decak Riana. Dia menampar pergelangan tangan Ken dengan keras.

Sontak Ken pun terkesiap dan meraung kesakitan. "Aduh! Kamu! Aaaah!" teriak Ken sambil sedikit memutar pergelangan tangannya.

"S—sorry, s—sakit, ya?" Riana merasa bersalah.

"Tidak! Ya sakit, lah! Apakah kamu ini sebenarnya adalah atlet boxer? Kuat sekali tenagamu." Ken masih merasa nyeri dan mengelus tangannya.

Mendengar pertanyaan dan tingkah Ken, Riana hanya tersenyum malu seraya membetulkan masker. Sejenak dia teerdiam, "Ternyata hantu juga bisa merasakan sakit," gumamnya dalam hati. Kedua matanya mengernyit geli saat mengetahui fakta tersebut.

"Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Ken.

"Apa? Ee—enggak, gak papa, kok. Kamu juga! Apa gak bisa bicara non formal denganku? Kau ini dosen Bahasa Indonesia?" protes Riana.

Ken hanya menghela napas tanpa menjawab pertanyaan Riana. Dia memang terbiasa dengan bahasa formal. Namun, gaya bicaranya tersebut justru dianggap aneh oleh Riana. Lingkungan tempat tinggal dan pekerjaan Ken yang membuatnya lebih sering menggunakan bahasa formal hingga akhirnya Ken mulai terbiasa dengan hal tersebut. Di usianya yang masih muda, dia sudah dihadapkan dengan rekan kerja yang usianya jauh di atasnya sehingga dia selalu menjaga image dan bertutur sopan.

"Ekhm! Sebenarnya aku bosan di rumah. Aku bingung mau berbuat apa. Sepi rasanya rumahku sekarang," ungkap Riana. Meskipun wajahnya tertutup masker, tapi Ken bisa merasakan kesedihan dan duka yang dialami Riana.

"Aku turut beduka atas apa yang terjadi dengan kedua orang tuamu," ucap Ken. Dia mulai mengingat pertemuan pertama kalinya dengan Riana saat di ruang UGD.

"Aku tau, pasti saat ini hatimu masih hancur. Tapi percayalah, orang tuamu sudah bahagia dan tenang di sana," lanjutnya. Ken berusaha menenangkan hati Riana.

"Ya, hati dan tubuhku bahkan terlalu rapuh untuk berlama-lama di rumah. Untuk itulah, setiap hari aku keluar sendirian hanya sekedar untuk mencari hiburan," lirih Riana. Wajahnya tertunduk sedih. Netranya sudah berkaca-kaca, tapi dengan sekuat hati dia tahan untuk tidak menangis.

"Kadang, aku ingin bertukar takdir dengan orang tuaku. Aku ingin mereka hidup bahagia dan biarlah aku yang meregang nyawa," lontar Riana. Suaranya kini semakin terdengar berat, dia berusaha menahan semua rasa yang menyakitkan.

"Kamu tidak boleh berbicara seperti itu, Riana. Tidak ada takdir yang tanpa alasan, Tuhan pasti punya rencana baik untukmu. Jika takdirmu bertukar dengan orang tuamu, bisa saja mereka akan lebih sedih dan hancur ditinggalkan anaknya." Ken mengusap punggung Riana dengan lembut sehingga membuat gadis berambut panjang tersebut tak kuasa untuk tidak menangis.

Butiran bening menetes dari sudut mata Riana. Dia masih tertunduk pilu. Sesekali dia menepis air yang mengalir di pipinya. Malam itu, Riana menangis tanpa suara. Kedua matanya terpejam tatkala mengingat kejadian naas beberapa hari lalu bersama kedua orang tuanya. Melihat suasana haru malam itu, Ken pun turut membungkam mulutnya. Dia tidak banyak bicara, hanya belaian telapak tangannya yang mengusap punggung Riana dengan lembut, berharap bisa sejenak menenangkan hatinya.

"Ah, sudahlah .... Aku tidak mau berlama-lama dalam kesedihan. Untuk itu aku keluar datang ke sini." Gadis itu menegakkan badan dan mengangkat wajahnya ke langit-langit.

"Apa yang bisa aku lakukan supaya kamu tidak sedih lagi?" tanya Ken.

"Eumm, sepertinya tidak ada. Aku hanya butuh teman untuk saat ini. Kamu mau enggak jadi temenku?" Riana mengarahkan tangan kanannya ke arah Ken.

"Ha ha ha, setelah kamu memukulku bak samsak boxing, kau pikir aku mau jadi temanmu?" Ken tersenyum sinis menggoda Riana. Sesaat hening, Riana hampir menarik kembali uluran tangannya. Namun, Ken menggapai dan berjabat tangan sebagai tanda persetujuan bahwa kini mereka berteman.

"Deal?" Riana tersenyum girang.

Kedua bola matanya melebar. Ken yang berjabat tangan tanpa memandang Riana hanya mengangguk. Riana pun tertawa bahagia. Saat keduanya saling menyetujui untuk memulai pertemanan. Di hadapan mereka melintas dua orang laki-laki dan perempuan muda. Tingkah Riana membuat kedua orang tersebut heran dan menganggapnya aneh. Mereka berbisik seperti sedang membicarakan Riana yang terlihat sedang duduk seorang diri. Menyadari keberadaan kedua orang yang melintas di depannya, Riana dengan sigap bersandiwara.

"Ah, ya ampuuuuun, lenganku, rasanya udah mau copot. Capeknya ...!" teriak Riana. Dia melepaskan tangan Ken dan meregangkan otot-otot pergelangan tangan sehingga hampir mengenai kepala Ken. Riana pun kemudian memutar badan ke kanan dan ke samping kiri seolah sedang melenturkan otot-otot tubuh yang kaku. Netranya melirik ke arah orang yang baru saja lewat di hadapannya. Setelah mereka berdua berjalan semakin jauh, Riana membetulkan posisi duduknya dan menghela napas panjang.

"Hampir saja aku dikira orang gila!" seru Riana. Sementara itu, Ken tersenyum melihat kelakuannya yang pintar bersandiwara.

COMATO GHOSTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang