HOPE

21 6 0
                                    

Di ruang ICU. Tirai hijau tergerai membatasi ranjang pasien yang satu dan yang lainnya. Hawa dingin menyeruak merayap seisi ruang. Ketiga pasien sekarat di rajang terbaring lemah. Mereka sedang berjuang dengan takdirnya. Ada kekuatan yang tak terlihat. Namun, ada kesedihan yang juga tak berwujud.

Hiruk pikuk suara kota menyongsong fajar. Suka cita dari setiap insan yang siap menjalankan aktivitasnya. Juga dengan suasana ruangan ini yang tidak berubah. Membuat harapan pasien kian berubah setiap saat.

"Suster, sudah ada kabar dari keluarga pasien kecelakaan?" Dokter Richard datang menghampiri suster jaga.

"Oh, sudah, Dok. Wali pasien akan datang siang ini. Beliau menyetujui untuk melakukan operasi," jawab suster.

Ken yang mulanya sedang berdiri menatap dirinya di samping ranjang pasien. Mendengar kabar tentang keluarganya, segera berlari menghampiri paramedis. Dia memastikan kalau yang menjawab telepon adalah ibunya.

"Oke, baguslah. Siapkan jadwal operasi untuk nanti malam," pinta Dokter Richard.

"Oke, Dok. Siap!" ucap Perawat.

Seringai senyum terlihat dari wajah Ken. Semburat harapan hadir. Ken berharap, tidak akan ada lagi selang-selang yang menempel pada wajah dan tubuhnya. Ken berharap, bisa menikmati hidupnya dengan keluarga tercinta.

"Semoga operasimu lancar, kawan." Yoana menepuk pundak Ken.

"Makasih," jawab Ken singkat. Manik matanya berkaca-kaca.

"Semangat, anak muda." Jeremy meraih tangan Ken. Turut memberikan semangat kepada Ken.

"Thanks." Ken menyunggingkan senyum kepada Jeremy.

"Kamu pasti bisa kembali bersatu lagi dengan tubuhmu. Sebentar lagi, kamu juga akan bertemu keluargamu," ucap Jeremy.

"Ya, semoga. Begitupun dengan kalian. Aku harap kalian segera siuman, dan kita akan kembali bertemu di dunia nyata." Ken memeluk Jeremy dengan erat, lalu kembali ke samping ranjangnya.

Dia memandang wajah dirinya yang terpasang selang oksigen. Mencoba meraba tubuhnya yang juga terpasang alat penunjang lain. Kabel-kabel yang tertata di badan. Selang infus yang tertancap di tangan. Dia tidak bisa menyentuhnya.

"Bersabarlah sedikit lagi, mari kita berjuang bersama," gumam Ken dalam hati.

"Oh, ya, Yoan. Kenapa aku gak bisa menyentuh tubuhku? Padahal aku bisa menyentuh baju yang kamu bawa untukku. Aku juga bisa memegang pintu saat masuk ke toilet, dan aku bisa merasakan air saat membasuh wajah." Ken bertanya keanehan tersebut.

Yoana dan Jeremy yang sebelumnya berdiri di dekat meja kerja perawat yang berkata, mereka mendekati Ken menuju ranjang pasien. "Aku pun begitu, aku tidak bisa menyentuh tubuhku sendiri," ucap Yoana.

Mendengar jawaban Yoana, Ken memindahkan pandangannya kepada Jeremy. Dia menatapnya dengan tajam dan mengernyitkan mata kepada laki-laki yang usianya sudah tidak muda itu. Melihat tatapan tajam Ken, Jeremy menutup mata, lalu memandang ke arah langit-langit.

"Apa? Kenapa? Saya?" tanya Jeremy kepada Ken.

Ken pun membalas dengan anggukan kepala. Kedua sudut bibirnya sedikit terangkat. Kedua tangannya saling mendekap. Dia menunggu jawaban Jeremy.

"Eumm, gini...." Jeremy menghentikan bicaranya sehingga membuat Ken dan Yoana penasaran.

"Ya, gimana? Jawab to the point!" cecar Yoana.

Jeremy tampak sedang berpikir keras. "Gini lho....kalian ke sini dulu," pinta Jeremy.

Ken dan Yoana lalu mendekat ke arah Jeremy. Mereka semakin penasaran dengan penjelasan yang akan dilayangkan.

"Sini. Mendekat." Jeremy mengecilkan suaranya, sehingga membuat kedua orang di depannya mendekatkan telinga mereka. Beberapa saat kemudian. Jeremy berbisik.

"Ehem, gini... mengenai masalah itu. Aku.... Juga.... Tidak tau!" cetus Jeremy. Dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

"Apa?" Ken dan Yoana sontak berteriak bersamaan.

"What? W—what are you ss—saying? Astaga." Ken mulai geram dengan tingkah Jeremy. Kedua tangannya mengepal.

"Hhhey! Pak Tua! Hhhhhuh?" teriak Yoana. Dia berusaha kerasa menahan amarahnya.

"Dd—dasar, kau, anda, ah! Pak Tua! Kalau tidak tau, kenapa menyuruh kami mendekat dan berbisik?" Wajah Yoana memerah. Dia berteriak kesal tepat di depan wajah Jeremy.

Tanpa berpikir panjang, Jeremy pergi dengan cepat meninggalkan ruangan tersebut. Dia berbalik badan dan berlari ke luar. Pagi hari, Jeremy berhasil membuat gaduh dan geram dua orang yang menempati ruang yang sama dengannya.

"Awas kau! Pak Tuaaaa!" Yoana berteriak mengejar laki-laki berjaket kulit cokelat tersebut.

COMATO GHOSTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang