Kerinduan

5 5 0
                                    

Di koridor ICU, perempuan paruh baya duduk bersandar di bahu seorang kepala keluarga yang terlihat tegar. Butiran bening menetes tak henti-hentinya dari kedua manik mata yang memerah. Sapu tangan putih digenggamnya, sesekali dia gunakan untuk menyeka kedua pipi yang basah. Sepasang suami istri yang usianya mendekati senja itu menangis tanpa suara. Laki-laki dengan setelan jas hitam dan rambut klimis yang duduk di sebelahnya mencoba menenangkan dan memberikan usapan lembut pada telapak tangan berselimut kulit tipis yang mulai keriput.

"Apa kita pindahkan saja Ken ke luar negri?" tanya Bu Mutia memulai pembicaraan.

"Kita tunggu keputusan dokter dan lihat perkembangannya dulu," jawab Laki-laki yang menopangkan bahunya untuk sang istri.

"Sampai kapan? A—aku khawatir dengan anak k—kita," lirih Bu Mutia.

"Tenang dan sabarlah, Ken pasti akan segera bangun." Tangan keriputnya membelai lembut rambut Bu Mutia yang mulai memutih.

"Pulanglah, biar aku yang menunggu Ken malam ini," pinta Pak Aditama—ayahanda Ken—sembari mengusap punggung telapak tangan istrinya.

Bu Mutia menegakkan punggungnya dan membetulkan posisi duduk. "Aku masih ingin menemaninya di sini," tuturnya lembut.

"Sudah larut, pulanglah. Kamu tidak akan bisa istirahat di sini," imbuh Pak Aditama.

"Ibu mana yang bisa istirahat dengan tenang sedangkan anaknya masih terbaring lemah di rumah sakit? Ibu mana yang bisa tidur pulas sedangkan anaknya dalam masa kritis dan diambang nyawa? A—aku, bb—bahkan sampai saat ini tidak lagi merasakan tidur dengan nyaman," lontar Bu Mutia. Suaranya bergetar menahan sesak di dada.

Mendengar sang istri mengungkapkan rasa hatinya. Pak Aditama menghela napas, lalu mengusap punggung Bu Mutia untuk sekedar menguatkannya.

Sudah tiga hari semenjak kejadian menghilangnya roh Ken dari rumah sakit, dirinya belum juga kembali. Entah kapan roh tersebut akan datang dan bersatu dengan tubuhnya lagi.

"Jika salah satu dari kita sakit, Ken mungkin akan sedih. Lalu, siapa yang akan menjaganya di sini? Kita harus sama-sama kuat dan sehat demi anak kita." Laki-laki paruh baya itu berkali-kali membujuk istrinya.

Kali ini, Bu Mutia mendengarkan nasihat Pak Aditama. Perempuan yang masih terlihat anggun dengan usianya yang tidak lagi muda tersebut akhirnya beranjak dari tempatnya duduk. Lalu pergi bersama dua ajudan yang sudah menunggunya di depan pintu masuk ICU.

Sementara itu, di hadapan mereka ada sesosok ruh perempuan blasteran yang jasadnya terbaring lemah di ruang ICU. Dia duduk mendekap dengkul pada kursi besi yang terasa dingin karena embusan AC. Yoana, memandang haru kepada orang tua Ken. Rupanya, dia merindukan seseorang. Hingga saat ini, belum ada satu pun keluarga yang berkunjung menemuinya.

"Hey, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Jeremy. Laki-laki paruh baya itu menghampiri Yoana dengan kemeja abu-abu, dasi hitam, juga celana kain hitam.

"Aku ...." Yoana melirik pelan ke arah Jeremy.

"Ya ampuuuun, baju siapa yang kau kenakan, Pak Tua?" Gadis berambut pirang dan ikal tersebut merasa heran dengan pakaian yang dikenakan Jeremy.

"Ummm, aku menemukannya dari loker dokter. Gimana? Cocok gak? Apa aku terlihat seperti orang kantoran sekarang?" Jeremy memutar badannya dengan percaya diri.

"Berati Anda mencurinya," tuduh Yoana dengan kedua netra mengernyit penuh kecurigaan.

"Apa? A—pa yang kamu k—katakan bb—barusan?" Laki-laki tersebut mendekatkan daun telinga ke arah Yoana.

"Apa? Apa yang aku katakan? Mencuri?" jawab yoana datar.

"Mencuri?" Jeremy terbelalak dan memelototi gadis yang masih duduk di depannya.

"Aku hanya meminjam sebentar, ingat!" lanjutnya.

Mendengar hal tersebut, Yoana hanya memandangnya dengan kebisuan. Sikapnya yang tidak biasa, membuat Jeremy semakin penasaran.

"Apa yang sedang kamu pikirkan? Apa ada masalah? Kuperhatikan sejak tadi kamu melamun dan memandang kedua orang tua Ken." Jeremy mengambil posisi duduk di sebelah Yoana.

"Aku hanya merindukan orang tuaku, I hope mereka datang. Tapi hingga saat ini mereka tidak kunjung tiba," jelas Yoana.

"Apa mereka tidak tau kalau kamu sedang sekarat di sini?" tanya Jeremy penasaran.

"Entahlah." Yoana mendengus kesal.

"Kupikir, mati mungkin lebih baik untukku." Raut wajah gadis tersebut terlihat hilang semangat.

"Apa? Hey, what you say? Apa maksudmu mati? Siapa yang akan mati? Ingat! Kita bertiga tidak akan ada yang mati. Kita pasti akan kembali melihat indahnya dunia ini. Jadi, jangan berkata seperti itu lagi!" tegas Jeremy, suaranya meninggi dengan napas tak beraturan.

"Untuk apa aku ...." Belum selesai Yoana berucap, Jeremy menyela dengan suara kencang.

"Stop! Jangan lanjutkan! Sudah kubilang jangan bicara yang aneh-aneh! Anggaplah aku orang tuamu selama di sini," decak Jeremy. Sementara itu, Yoana hanya membisu mendengar perkataan laki-laki paruh baya yang masih duduk di dekatnya.

"Oh, ya. Ngomong-ngomong. Kenapa sampai sekarang Ken belum kembali? Ke mana sosok itu membawa Ken? Ah, aku jadi cemas. Sudah tiga hari kita tidak melihatnya bukan?" tanya Jeremy. Yoana masih terlihat lesu. Aura semangatnya seolah lenyap dari dirinya.

Malam itu, satu keluarga menerbangkan rindu untuk anaknya yang entah kapan akan terbangun dari tidurnya. Denting waktu kian berlalu, tapi penderitaan hati kedua orang tua Ken masih saja menyelimuti mereka. Pada sudut lain, satu sosok pun menyimpan rindu yang teramat pada kerabatnya. Kesepian dan kepedihan tiada juga sirna di hari-hari mereka. Di hati mereka masing-masing, terselip harap dan doa untuk orang-orang terkasihnya.

COMATO GHOSTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang