Lantai Tiga

15 7 0
                                    

Di ruangan pasien lain, seorang gadis termenung memandang ke arah jendela kamar. Tirai biru yang terbuka lebar, membuat pemandangan di luar terlihat jelas. Burung gereja berkeciap terbang menyambut sang surya. Sinarnya hangat menembus kulit. Suara gagang pintu terbuka. Seorang perawat datang membawa obat-obatan.

"Hallo, selamat pagi," sapa Suster. Riana hanya tersenyum membalas sapaannya.

"Jangan lupa sarapan, lalu diminum obatnya, ya," pinta Suster berseragam hijau.

Setelah menyimpan obat-obatan, perawat tersebut berbalik badan hendak keluar menuju kamar pasien lain. Dia melihat menu sarapan yang masih utuh di meja. Lengkap dengan air mineral dan buah-buahan.

"Suster," panggil Riana.

Perawat tersebut memutar kembali badannya ke arah Riana. "Ya, kenapa?" tanyanya.

"Eumm, hari ini aku bisa pulang ya?" Riana memastikan jadwal kepulangannya dari rumah sakit.

"Oh, iya. Betul ... karena kondisimu sudah lebih baik, jadi bisa istirahat di rumah. Kami juga sudah menghubungi keluargamu untuk segera menyelesaikan administrasi," jelas Suster.

"Begitu, ya? Makasih, Sus," ujar Riana. Perawat tersebut kemudian pergi dari kamarnya.

Beberapa saat kemudian, Riana pun angkat kaki dari kamar tersebut. Dia merasa jenuh karena beberapa hari hanya di dalam kamar. Langkah kakinya bergerak ke arah mana pun yang dia inginkan. Beberapa kamar pasien VIP dia lewati. Lorong-lorong dia telusuri.

Riana yang masih mengenakan piyama pasien, berjalan seorang diri menyusuri setiap titik bagian dalam rumah sakit tempat dia dirawat. Matanya kemudian tertuju pada lift, lalu dia masuk dan menekan tombol ke atas lantai tiga. Di sana, terdapat ruang ICU tempat Ken dirawat.

Setelah keluar dari lift, Riana berbelok ke arah kanan. Dia memperhatikan papan petunjuk yang digantung di atas langit-langit rumah sakit. Kursi tunggu berjejer. Beberapa paramedis lalu lalang pergi dan datang. Saat melihat papan petunjuk arah yang bertuliskan Intensif Care Unit (ICU), Riana sesaat menghentikan langkahnya.

"ICU? Bukankah semalam para hantu itu bilang kalau mereka pasien di sini?" Riana bergumam dalam hati.

"Bukankah mereka juga bilang, kalau mereka dirawat di ruang ICU?" Pikirannya masih berkutat dengan ketiga pasien gentayangan yang membuat keributan di kamarnya.

Gadis berkulit kuning langsat itu kemudian melanjutkan langkahnya. Dia melangkah dengan hati-hati supaya tidak terlihat oleh paramedis. Gerak-geriknya mulai mencurigakan. Riana menilik setiap kamar ICU yang dia lewati. Melihat dan memastikan pasien yang berada di dalamnya. Setiap ada paramedis yang lewat, dengan cepat dia menghindar. Sampai akhirnya, di ruangan lain Riana memperhatikan tiga orang pasien yang terbaring lemah dari balik pintu kaca besar. Memperhatikan mereka dengan seksama meski dari jauh. Tiba-tiba, Riana dikejutkan oleh suara seseorang yang sedang berjalan menuju ke arahnya. Dengan cepat dia berlari mencari tempat persembunyian. Diantara ruang ICU ketiga dan ruang operasi, ada lorong menuju toilet. Di lorong itulah Riana bersembunyi.  Dari balik dinding, dia mengintip siapa saja yang datang. Rupanya, dua orang suster jaga datang, lalu masuk ke ruang ICU.

Dari arah toilet, tiga orang keluar. Mereka memperhatikan seseorang yang sepertinya bukan pasien di lantai tiga.

"Tunggu, Jeremy, Yoan. Stop. Bukannya dia pasien ruang VIP yang kita temui semalam?" Ken menghentikan langkahnya.

"Ah, masa? Mana aku tau, cuma punggungnya yang keliatan," jelas Jeremy, dia memperhatikan gadis yang masih membungkuk mengintip ke arah Ruang ICU.

Tanpa basa basi, Yoana mempercepat langkahnya mendahului kedua laki-laki yang berdiri di depannya. Dia menghampiri Riana yang masih belum menyadari kehadiran ketiga arwah tersebut.

"Riana!" Yoana menepuk gadis berambut hitam tersebut. Sontak Riana pun terkejut dan hampir berteriak.

Melihat kejadian tersebut, Ken berlari menuju Riana dan membungkam mulutnya dengan tangan kanannya. "Jangan teriak, nanti mereka ke sini," ucap Ken.

Riana terkejut melihat kehadiran mereka yang datang tiba-tiba. Matanya melotot dengan mulut yang masih terbungkam tangan Ken. Dia mencoba melepaskan diri. Namun, tangan Ken lebih kuat dari dirinya.

"Kamu harus janji, jangan teriak. Nanti aku lepaskan. Oke?" Ken menatap Riana dengan tajam. Gadis dengan tinggi 160cm itu diam tidak bergeming. Dia menatap Ken. Manik mata mereka pun saling beradu pandang.

"Hey! Janji jangan teriak setelah aku lepaskan. Oke?" Ken bertanya sekali lagi. Riana pun mengangguk. Secara perlahan, Ken melepaskan tangannya.

"Hhhuh!" Riana membuang napas, lalu mengambil napas dalam-dalam.

"K—kalian ... !" Riana menghentikan perkataannya. Napasnya masih tersenggal-senggal.

"Kamu ngapain ada di sini?" tanya Yoana penasaran.

"Iya, bukannya ruangan di sini tidak boleh sembarangan didatangi orang lain kecuali paramedis dan keluarga pasien?" sambung Jeremy.

"Akuuu .... " belum selesai Riana menjawab. Yoana lebih dahulu memotongnya.

"Kamu penasaran ya sama kita? Ya kan?" cecar wanita berwajah Eropa itu.

"Lho, e—enggak. Enak aja. Bukan. B—bukan begitu," tampik Riana. Kedua matanya mengedip cepat.

"Jadi, apa yang kamu lakukan di sini?" Ken pun penasaran dengan tindakan Riana yang diam-diam datang ke ruang ICU.

"B—begini. Jadi, aku gak sengaja ke sini," jawab Riana dengan terbata-bata

"Aku cuma bosan di kamar sendrian. Lalu aku keluar keliling rumah sakit dan tidak sadar sampai ke sini. Saat melihat papan petunjuk yang mengarah ke ICU, aku ... aku teringat ucapan Yoan semalam. Jadi, aku cari kamar kalian ke sini," jelas Riana. Wajahnya tertunduk malu.

"Kalau kamu ketauan paramedis, gimana? Kamu bisa kena denda," ujar Ken tegas.

"Kalau ketauan, ya tinggal minta maaf, lalu pergi," celetuk Riana tanpa merasa ada tekanan.

Mendengar pernyataan Riana, Ken menepuk dahinya. Dia menunduk dan memejamkan mata. "Ya ampuuun, dasar bocah," gerutu Ken.

"Apa? Bocah? Kamu bilang aku ... b—bocah? Oh tidak." Riana merasa geram dan mengangkat kedua tangan ke pinggang.

"Sssst! Diam! Sudah, sudah! Kalian berisik. Nanti mereka denger suara kamu, Riana!" Jeremy mencoba menghentikan mereka.

"Kamu penasaran 'kan dimana kamar kita? Nanti aku tunjukkan. Tunggu situasi aman," terang Jeremy.

"Kami bertiga berada di kamar yang sama, di ruangan sebelah. Di sini, tempat kami dirawat. Kita tunggu suster jaga keluar, baru nanti kamu masuk," jelasnya lagi.

"Jadi, kalian memang benar-benar di rawat di sini? Jadi, kalian juga benar-benar hantu koma?" tanya Riana dengan lirih. Kali ini, Riana tampak lebih tenang daripada kejadian kemarin malam.

"Kami bukan hantu! Apakata kami terlihat menyeramkan? Astagaaa .... " Yoana menggeleng-gelengkan kepala.

"Iya, arwah!" Riana mendekatkan wajahnya ke arah wanita yang lebih tua dua tahun darinya.

"Yasudahlah, aku mau kembali ke kamar, mau siap-siap karena hari ini aku pulang." Riana membalikkan badan dan melangkah menjauh dari mereka.

Baru dua langkah Riana menjauh, Ken meraih tangan gadis itu. Riana pun menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Ken.

"Jadi, hari ini kamu beneran pulang?" tanya Ken. Wajahnya terlihat sedikit kusut seolah tidak merelakan kepulangan Riana.

"Ya," jawab Riana singkat. "Kenapa?" tanya.

Ken masih terdiam memegang tangan Riana. Jeremy yang melihat hal tersebut menyambung pembicaraan mereka.

"Ehm! Nanti malam Ken akan melakukan operasi," terang Jeremy.

"Oh, begitu? Semoga operasimu lancar." Riana melepaskan cengkraman tangan Ken, lalu pergi dengan cepat dari tempat tersebut.

"T—tunggu! Hey. B—bukannya barusan kamu bilang mau lihat kamar kita? Hey!" Jeremy berteriak memanggil Riana.

"Bukankah dia menyebalkan? Ah! Gadis itu," sela Yoana. Mereka bertiga memandang Riana yang terlihat semakin menjauh.

COMATO GHOSTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang