Kejadian yang Sama, di Hari yang Sama

107 17 4
                                    

Hari itu, rintik gerimis turun menari membasahi bumi. Bersama senja dia beradu menciptakan lukisan alam yang eksotis. Tepat pukul lima sore, ruang UGD di salah satu rumah sakit swasta di Jakarta kedatangan empat ambulance dari pasien korban kecelakaan yang sama. Nahasnya, dua korban dinyatakan meninggal. Satu korban selamat dengan luka ringan di bagian pelipis mata. Sedangkan satu korban lagi dinyatakan koma karena benturan keras yang terjadi pada kepalanya.

Paramedis yang sedang bertugas senja itu disibukkan dengan keempat pasien tersebut. Dua pasien yang berjuang untuk hidupnya, adalah kedua orang tua dari pasien yang selamat. Namun, dokter dan perawat kesulitan untuk menstabilkan detak jantung mereka hingga akhirnya mereka menyerah.

"D—dokter, Ayah dan Ibu.... K—kenapa?" tanya Riana dengan terbata-bata. Dia menarik lengan dokter dengan kuat sambil melihat ke arah ranjang pasien di sebelah kanannya.

"Mereka ayah dan ibumu?" tanya dokter tersebut. Riana pun mengangguk.

"Maafkan kami, Nak. Kami sudah berusaha semampunya. Namun, orang tuamu tidak bisa kami selamatkan," ucap dokter. Beliau tertunduk pilu sambil memegang tangan Riana.

"D—dokter, tt—tapi." Gadis itu tak kuasa menahan air mata yang mengucur deras melewati pipinya.

Isak tangisnya beradu dengan hujan yang turun semakin derasnya. Riana, nama gadis yang selamat dari kecelakaan maut. Hanya pasrah menerima takdir yang tidak dia inginkan. Meski luka ringan yang dia dapatkan. Namun, luka hatinya begitu menyakitkan karena kehilangan kedua orang tua di hari yang sama, hingga seluruh tubuhnya merasa lemas tak berdaya. Dia berbaring dengan selang infus yang masih terpasang. Menyaksikan paramedis yang tidak bisa mengembalikan nyawa ayah dan ibunya.

"Sekali lagi, kami mohon maaf, kuatkan hatimu, Nak." Dokter yang menangani salah satu orang tuanya mencoba menguatkan Riana.

"Bagaimana aku bisa kuat? Setelah kedua orang tuaku Engkau ambil bersamaan oh Tuhan? Kau hilangkan kekuatanku seketika." seru Riana dalam hatinya.

Hujan lebat yang berjatuhan membasahi tanah. Mungkin bagi sebagian orang membawa kebahagiaan dan menyejukkan kalbu. Namun tidak bagi Riana. Kini, hujan menyisakan banyak memori kelam dan menyakitkan bagi dirinya karena kecelakaan maut tersebut terjadi tepat saat hujan turun dengan derasnya.

Di balik tirai biru yang memisahkan antara ranjangnya dan ranjang pasien lain. Seseorang tergeletak, terbaring kaku dengan banyak selang infus dan oksigen. Kenzo, satu korban selamat dengan luka dalam di bagian kepala dan luka luar yang menyayat kulit tangan juga dahi, mengalirkan cairan merah dengan derasnya. Dia Terbaring lemah seorang diri tanpa sanak saudara. Berjuang mengembalikan hidupnya yang diambang kematian.

Tiba-tiba, seolah angin memasuki ruang tersebut. Embusannya menyibak tirai sehingga Riana bisa melihat ranjang pasien yang berada di sebelah kirinya.

"Apakah dia kembar?" Riana bergumam dalam hati. Melihat seorang laki-laki berusia 22 tahun berdiri berlumuran darah. Dia berdiri tepat di sebelah ranjang yang masih dikerumuni dokter dan perawat.

Meski Riana melihatnya dengan samar. Namun, dia menerka-nerka bahwa benar saja, mungkin laki-laki tersebut adalah saudara kembar seseorang yang saat itu terbaring lemah di ranjang sebelah. Wajah laki-laki tersebut terlihat pucat sayu, menatap seseorang dengan tatapan kosong dan bingung.

"Kenapa dia hanya berdiri di situ? Kenapa paramedis tidak menolongnya? Padahal, dia juga butuh pertolongan." Riana masih bergumam. Dia mengangkat tangan kanannya dengan sekuat tenaga. Namun apalah daya, otot-otot nya masih begitu lemah.

"T—tolong, dokter, s—suster," ucap Riana. Suaranya nyaris tak terdengar sama sekali.

"S—suster, dia berlumuran darah, dia harus ditolong." Riana mencoba lagi memanggil perawat yang berada di dekatnya.

Kali ini berhasil. Salah satu perawat mendekatinya. "Iya, ada apa? Apakah ada keluhan? Mana yang sakit?" tanya perawat tersebut.

Riana menunjuk ke arah laki-laki yang masih mematung di sebelah kiri ranjangnya. Mulutnya kelu. Dia tidak mampu lagi berbicara banyak.
Sementara itu, perawat tidak mengerti maksud pasiennya. Dia menilik ke arah yang ditunjukkan Riana. Namun, perawat tersebut hanya diam.

"Anda harus istirahat, sebentar lagi kami akan membawa Anda ke kamar rawat inap. Mohon tunggu sebentar lagi," jelas suster sambil memeriksa infus yang menggantung di sebelahnya.

Riana masih menatap sosok yang berdiri tersebut. Ingin sekali dia berteriak memanggil dokter karena dia melihat darah segar yang mengucur deras di tubuh laki-laki itu. Pandangannya mulai semakin memburam saat laki-laki yang mengenakkan baju kotak-kotak merah itu membalikkan badan ke arah Riana. Mereka saling beradu pandang. Namun, sekejap kemudian Riana terpejam tak sadarkan diri.

COMATO GHOSTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang