BINGUNG

50 8 1
                                    

Senja dan hujan tenggelam pada malam yang dingin. Gemuruhnya mereda berganti sunyi. Tidak ada lagi tetes air langit. Kini, hanya tersisa suhu rendah yang menusuk kulit. Begitupun dengan Riana dan Ken yang mengalami kondisi sulit saat ini. Riana, harus berpacu dengan waktu tanpa kehadiran kedua orang tua. Ken, yang dibingungkan oleh takdir Tuhan akan kondisinya yang masih belum pasti antara hidup atau mati.

"Ya Tuhan, ada apa denganku?" Dia masih berdiri memandang dirinya yang terbaring di ranjang pasien.

Beberapa saat kemudian,perawat membawanya ke ruangan lain. Dari lantai bawah menuju lantai dua, Ken yang saat ini menjadi arwah mengikuti hendak kemana dirinya akan dipindahkan.

"Kalian mau membawaku ke mana? Hey, apa tidak ada satupun yang bisa melihatku?" Ken berusaha sekuat tenaga meyakinkan para perawat. Hingga tiba di depan ruangan berpintu kaca tebal yang hanya ditempati oleh tiga orang termasuk dirinya. Ruang ICU, di situlah kini dia dirawat.

Satu per satu, Ken mencoba memegang perawat yang membawanya pergi. Ranjang yang sedang didorong, dia cengkram tetapi tidak tersentuh. Dia pun sama sekali tidak bisa menyentuh tubuhnya yang tertidur lemah. Dia panik dan bingung mendapati kondisinya.

"Aaaaaaaaargh!" Ken berteriak kencang. Dia mengusap wajah dan menyibakkan rambut hingga berantakan. Hati dan pikirannya mulai terganggu.

Perawat memindahkan tubuh Ken ke ranjang yang ada di ruangan tersebut. Memasangkan beberapa selang infus dan selang oksigen. Beberapa saat kemudian, dokter laki-laki yang usianya mulai senja datang.

"Suster, tolong hubungi keluarga pasien supaya kita bisa segera mengambil tindakan selanjutnya," pinta dokter kepada salah satu perawat.

"Baik, Dok. Kami akan segera mencari tau keluarganya," jawab suster.

"Dia harus segera menjalani operasi. Jika tidak, nyawanya tidak tertolong," ucap dokter.

"Kasihan sekali, kamu masih begitu muda." Sambil memandangi wajah Ken, dokter melanjutkan ucapannya. Sesaat kemudian, mereka pergi meninggalkan Ken.

"Tidak! Dokter, Suster. Jangan pergi! Aku di sini. Aku masih hidup. Kalian tidak mendengar? Kenapa kalian mengabaikanku? Aku di sini!" seru Ken.

"Dokter! Kenapa kalian tidak bisa melihatku? Aaaaargh!" teriaknya.

****

Di ruangan lain, seorang gadis tampak murung meratapi kondisinya. Riana, gadis 18 tahun yang baru saja kehilangan ayah dan ibunya. Dia terisak dan masih terbaring lemah di ruang rawat inap.

"Sayang, kamu yang kuat ya. Ada kami yang akan selalu menjagamu. Kami janji akan merawatmu seperti anak kami sendiri," cetus salah satu perempuan yang duduk di samping ranjang Riana.

"Betul, Nak. Anggaplah kami orang tuamu," celetuk satu perempuan lagi.

Mereka adalah adik dan sepupuh dari mendiang ayah Riana. Setelah mendengar kecelakaan maut itu, mereka langsung datang menilik kondisi keponakannya, Riana. Mendengar ucapan kedua perempuan tersebut, Riana hanya diam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Air matanya masih mengucur deras. Dia tidak memperdulikan siapapun yang mengajaknya berbicara.

"Tante Clara, Tante Siska. Aku ingin sendiri. Bisakah kalian pergi dari sini? Aku benar-benar ingin sendiri. Tolong keluarlah," pinta Riana.

"Iya, iya sayang. Kami akan menunggu dan menjagamu di luar," ucap Tante Clara sambil mengusap air matanya.

"Kamu yang sabar ya, yang kuat, Riana." Tante Siska membelai rambut Riana yang tergerai.

Mereka berdua kemudian angkat kaki dari kamar tersebut dan meninggalkan Riana.

"Oh iya, dokter bilang, dua hari lagi kamu sudah bisa pulang, Sayang." Tante Clara membalikkan badan dan menyampaikan pesan tersebut kepada Riana, lalu kembali pergi meninggalkan keponakannya.

Gadis berwajah oriental itu masih memalingkan wajahnya. Sesaat kelopak matanya terpejam. Dia hela napas dalam-dalam. Lalu terurai lagi air matanya. Ingin sekali dia berlari, lalu berteriak sepuasnya. Namun, kakinya masih begitu lemah untuk berjalan dan keluar dari ruang tersebut. Kedua tangannya mengepal. Menggenggam erat selimut putih yang menutupi tubuhnya.

"Teganya Kau kepadaku, Tuhan. Kau biarkan aku seorang diri. Apalah aku tanpa orang tuaku," gumamnya dalam hati.

"Kenapa Engkau hanya mengambil nyawa Ibu dan Ayah? Kenapa Engkau tidak juga mengambil nyawaku?" tanya Riana dalam hati.

"Haruskah aku mengakhiri hidupku sendiri? Aku sungguh tidak sanggup jika harus hidup sendirian seperti ini, Tuhan," lanjutnya.

"Sungguh, aku tidak mengerti apa mau-Mu," lirihnya.

COMATO GHOSTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang