Menghilang

22 5 0
                                    

Riana akhirnya memutuskan untuk angkat kaki dari tempat tersebut. Dia akan pergi ke apartemen miliknya. Suara hiruk pikuk manusia semakin meredup. Bising kendaraan di jalan depan rumah sakit pun tak lagi terdengar ramai dan bising. Malam semakin larut, Riana berniat memesan taxi untuk mengantarkannya ke tempat hunian keduanya. Gadis itu berdiri dari tempatnya duduk, merapikan rambut dan pakaian, sejenak terdiam, lalu mendengus pelan. Dia membalikkan badannya ke arah Ken yang masih duduk. 

"Baiklah, kamu benar. Seharusnya gadis manis sepertiku tidak boleh berkeliaran di luar. Apalagi sampai selarut ini, kan? Aku pergi dulu, besok atau lusa aku datang ke sini lagi," paparnya. 

Ken mengangkat kedua alisnya, lalu tersenyum tipis pada Riana. "Ya, memang seperti itu harusnya. Pulanglah, dan hati-hati di jalan." Ken melambaikan tangannya dengan santai kepada Riana. 

"Oke, see you next time, bye." Gadis itu kemudian beranjak pergi meninggalkan Ken. Namun, baru saja Riana berjalan beberapa langkah. Dia mendengar teriakan dari arah belakang. 

"Aaaargh!" Tiba-tiba Ken menyeringis kesakitan. 

"Ken, why?" Riana berbalik dan berlari mendekatinya. 

"Aaa—aku. Aarrgh!" Ken mencengkram tangan Riana dan sekuat tenaga menahan sakit yang melanda tubuhnya. 

"Ken, why? Apa yang terjadi?" Riana mulai panik. Dia memperhatikan sekitar, tapi tidak ada satu orang pun yang melintas. Meski ada manusia lain selainnya, mereka tetap tidak akan bisa menolong Ken karena hanya Riana, manusia yang bisa melihat dan berinteraksi dengannya. 

"Dadaku sakit, help, Riana!" Ken tersungkur ke lantai. Detak jantungnya mulai berdebar kencang. Napasnya naik turun tak beraturan. 

"Ww—what? ww—why? ya Tuhan. Aku harus bagaimana?" Riana memegang jemari Ken yang masih meraung kesakitan. 

"Help!" Ken yang mulanya membungkuk di kursi, tubuhnya kini mulai lemah. Dia tersungkur ke ubin. Wajahnya begitu pucat. Suhu tubuhnya menurun. Riana mencoba menahannya untuk tetap berada di atas kursi. Namun, dia tidak mampu menahan tubuh Ken yang berat. 

"Ke mana teman satu kamarmu, Ken? Ya Tuhan. Apa yang harus aku lakukan?" Riana berdiri dan melepaskan genggaman Ken. Kedua bola matanya menilik ke segara arah. Dia kemudian menuju pintu masuk rumah sakit. Di depan pintu yang terbuat dari kaca, dia berdiri mencari Jeremy dan Yoana. Namun, Riana tidak menemukannya. Dengan kepanikan yang masih melanda, dia kembali menghampiri Ken yang masih tersungkur di lantai. Saat langkahnya semakin dekat, tubuh Ken perlahan mulai transparan seperti hampir menghilang. 

"Ken!" Riana berteriak melihat perubahan itu. 

"Kk—kamu, apa yang terjadi dengan tubuhmu? Apa kamu akan menghilang? Ah, tidak! Tunggu, Ken!" decak Riana. Dia menggapai tangan Ken, tapi kali ini Ken tidak bisa disentuh sama sekali. Berkali-kali Riana mencoba menyentuhnya, tetap saja hal itu sia-sia. 

"Aaaaargh!" Ken kembali meraung dan berteriak kencang. Seketika itu juga, tubuh Ken benar-benar menghilang dari pandangan Riana. 

"Ken! Tidak! Ken! Kamu ke mana? Apa yang sebenarnya terjadi?" jerit Riana. Dia mengusik rambut dengan kedua tangannya. 

Beberapa paramedis yang mendengar jeritan Riana, berlari dari dalam rumah sakit menuju sumber suara. "Ada apa, Mbak? Kenapa berteriak di rumah sakit?" tanya salah satu perawat. 

"Tolong jangan mengganggu kenyamanan dan ketertiban rumah sakit ini," timpal salah seorang perawat lagi. 

"Oh, mm—maaf, Sus. Maafkan saya. S—saya cuma memanggil teman barusan. Maafkan saya," jelas Riana dengan gagap sambil membungkuk di hadapan kedua perawat tersebut. 

Suara denting jam menggema ke penjuru bumi. Angin berembus pelan beriringan dengan suara tersebut. Semakin larut, suasana semakin dingin menembus kulit. Tidak jauh dari tempat Riana berdiri. Muncul lingkaran portal kebiruan seperti pintu masuk menuju dimensi lain. Lingkaran itu berputar dan memercikkan kilatan jingga bercahaya seperti petir. Ada letupan nyaring dari kilatan petir yang bereaksi satu sama lain. Seketika, 

Waktu dan seluruh aktifitas manusia malam itu pun terhenti. Kendaraan tidak lagi melaju. Pun dengan kondisi di rumah sakit. Paramedis, pengunjung, dan pasien mematung bak manekin. Betapa terkejutnya Riana dengan pemandangan di luar nalar tersebut. Mendapati perawat yang berada di hadapannya mematung, kedua bola mata Riana membesar dan napasnya tidak beraturan. Rahangnya seketika menegang. Gadis 18 tahun itu kemudian berlari ke dalam rumah sakit. Dia pun semakin shock kala memperhatikan seluruh orang di dalam ikut terdiam dan mematung. Hanya dirinya lah yang masih bisa bergerak normal. 

"Ya Tuhan. Apa ini? Apa yang terjadi?" Riana berjalan pelan dengan netra melirik ketakukan. 

"Apa aku mimpi?" Riana menampar pipinya sendiri. 

"Aw! Sakit! Artinya ini nyata. Tapi, kenapa dengan mereka?" Bulu kuduk Riana berdiri.

Sepoi angin berbisik dan membelai rambutnya. Riana semakin ketakutan. Ditiliknya jam dinding besar yang menempel di dinding ruang tunggu, putaran jarumnya pun turut berhenti. Tanpa berpikir panjang. Kedua kakinya berlari ke arah lift. Dengan tergesa-gesa Riana memencet tombol dengan napas yang masih tersenggal-senggal. Hingga pintu tersebut terbuka, gadis itu masuk dengan perasaan sedikit lega. Tombol lift yang Riana tekan ternyata menuju ke lantai tiga di mana ruang ICU tempat Ken terbaring koma juga ada di lantai tersebut. 

Ting! 

Pintu terbuka, Riana bersiap untuk ke luar. Namun, hatinya mulai ragu. Pikirannya diliputi hal-hal negatif. Dia masih cemas dan ketakutan. Riana mengambil napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Dua langkah kakinya melaju, lalu berhenti. Dia berpikir kembali untuk melanjutkan langkahnya atau tidak. Namun, karena ruang ICU berada di arah kanan tak jauh dari lift. Dirinya kini mulai memberanikan diri untuk berjalan menuju ruangan Ken. Kedua kakinya melangkah dengan cepat tanpa berlari. Di hadapan Riana, ruangan tersebut semakin terlihat jelas. Dia menatap tajam pintu masuk, hingga jari jemarinya sampai untuk menggapai gagang pintu. Perlahan dibukanya pintu kaca itu, lalu masuk dan ditutupnya kembali. Tas slempang kecil yang dia kenakan menjadi pegangan satu-satunya untuk membuatnya mengumpulkan sedikit keberanian. Ken menempati ruang ICU satu bersama Jeremy dan Yoana. Ruang tersebut tepat berada di sebelah kiri Riana. Hanya beberapa langkah saja untuk menuju pintu masuk ruangan laki-laki yang kini sudah berteman dengannya. Dia berdiri di depan pintu, manik matanya menatap Jeremy dan Yoana yang berdiri di samping ranjang Ken. Teman satu kamar Ken yang juga koma rupanya tidak turut menghilang atau mematung seperti orang lain dan paramedis yang sedang berjaga di situ. 

"Ken ...." lirih Riana memanggil Ken yang terbaring lemah. Panggilan tersebut membuat Jeremy dan Yoana menoleh ke arah Riana. 

"Kk—kenapa ini? Apa yang terjadi dengan Ken?" tanya Riana. Manik matanya memandang Yoana yang terlihat sendu dan sedih. 

"Riana, Ken .... " Jeremy menghentikan ucapannya. 

COMATO GHOSTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang