"Apa maksud lo?" tanya Arvan di detik masker dan api biru itu menghilang.
***
Kedua bola mata milik Arvan seakan siap menusuk Darel yang berada di hadapannya. Tiba-tiba Api merah membakar tubuh Darel, ia pun berubah ke wujud manusianya. Melihat kedua tangannya bersih tanpa bulu, Darelpun berkata dalam hati, "lagi-lagi berubah tanpa keinginanku."
Setelah itu Darel membalas tatapan Arvan, dengan maksud memberitahunya bahwa dia tidak terpengaruh dengan tatapan mengintimidasi Arvan. Dengan nafas memburu Arvan mendekati Darel yang masih santai duduk di dekat Erisa. "Gue tanya, maksud lo apa?" tanya Arvan sambil mencengkram kerah baju Darel.
Bukan sebentar waktu yang dihabiskan Darel bersama Arvan, hingga mereka berdua ada di lini masa ini. Banyak hal yang harus mereka lewati. Dan Selama waktu itu, dia mempelajari fakta bahwa anak ini, begitu mencintai keluarganya. Tatapan mata Arvan sekarang, bukan menunjukan kemarahan pada Darel. Namun rasa khawatir, karena dia sudah banyak mengalami luka di masa depan.
Sedari tadi Darel sudah berada di sekolah mereka, dia melihat semua kejadian dari awal hingga akhir. Dimana ibu dan anak itu di bawa ke UKS. Pada saat kejadian itu Darel secara tak sengaja memasuki alam bawah sadar Erisa. Ia melihat seorang anak kecil yang berdiri dengan tatapan kosong dengan genangan darah di sekitar kakinya. Dia tak tahu pasti apa yang Erisa pernah lalui, namun satu hal yang pasti, gadis itu pernah mengalami hal yang begitu buruk. Sangking buruknya hingga meninggalkan luka pada jiwanya, yang mungkin tak di sadari oleh siapapun.
"Jangan tanyakan padaku, tanyakan pada ibumu ketika dia sudah bangun," jari jemari Darel mengenggam milik Arvan lalu menghempaskannya, sebelum berdiri dan berjalan meninggalkan Arvan.
Arvan mengalihkan pandangannya pada Erisa yang masih terbaring lemah. Dalam hati Arvan terus merapalkan doa supaya ibunya baik-baik saja.
"Lagi pula bukankah seharusnya kau sendiri sudah tahu apa yang pernah ibumu lalui hingga memiliki trauma seperti itu?" ucap Darel seraya berjalan ke sisi lain ruangan melihat manekin tengkorak yang terpajang disitu.
"Trauma? Trauma apa?"
"Tidak tahu, aku bukan seorang thiasver,"
"Tapi kenapa lo bisa tahu nyokap gue punya trauma?"
"Aku tidak sengaja melihat isi kepalanya, bukan melihat masa lalunya, potongan rasa trauma ibumu terekam jelas di kepalanya. Jangan tanyakan aku detailnya. Lagipula itu tugasmu untuk mencari tahu dan mengatasinya," jelas Darel sambil memperhatikan manekin tengkorak itu dengan seksama.
Ia mengusap bagian tulang selangkanya menggunakan jari telunjuk dan tengah. Kemudian ia membawa kedua jarinya untuk mendekat pada retina milkinya. Perlahan Darel mempertemukan kedua jari itu dengan ibu jarinya untuk mengusapnya. Seharusnya debu berwarna abu-abu namun yang ada di jari Darel berwarna hijau pekat.
Dengan mata kucing miliknya Darel memindai seluruh ruangan. Wajahnya langsung berubah ke mode serius. Namun sepersekia detik kemudian, ia kembali seperti biasa. Selanjutnya Darel mengeluarkan sapu tangan miliknya, membersihkan tangannya dan bertanya pada Arvan masih dengan posisi saling membelakngi, "Apa ada seseorang yang tadi berada di sini?"
"Cuman Michael," jawab Arvan singkat.
Bukan, bukan dia.
"Apa trauma nyokap gue bisa di hilangin?" Tanya Arvan lagi, mengalihkan fokus Darel.
Darel menghembuskan nafas berat, dia memutar tubuhnya untuk melihat Arvan yang masih setia menatap ibunya.
"Apa aku terlihat seperti seorang dokter?" tanya Darel balik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Mama
Teen Fiction[ON GOING] Bayangkan jika kamu bertemu dengan seorang cowok yang mengaku dirinya adalah anakmu dari masa depan. Apa yang akan kamu lakukan? melarikan diri atau malah percaya dengan kata-katanya . Belum lagi ia membawa intruksi-intruksi aneh dan gak...