Jovano menatap sekeliling rumah tidak ada tanda-tanda kehidupan. Sebenarnya cukup berlebihan, jika di bilang tidak ada tanda-tanda kehidupan. Sebab banyak pelayan yang menyambut kedatangannya. Namun bagi Jovano, rumah orangtuanya tanpa sosok Aiden adalah rumah kosong tak layak huni.
Apa ia ditipu oleh Rizal supaya dia mau pulang kerumah? Tidak mungkin! Seingat Jovano, Rizal bukanlah orang yang seperti itu. Walaupun Rizal bekerja untuk ayahnya, Rizal adalah salah satu orang yang dekat dengan Jovano. Oleh karena itu Jovano memutuskan untuk masuk lebih dalam, mungkin saja kakak tersayangnya sedang duduk minum kopi sambil menonton TV.
Sayangnya ruangan dan rumah yang besar itu hanyalah bangunan sepi. Ia pun memutuskan untuk pergi ke kamarnya.
Namun Suara pintu depan yang terbuka membuat bahu Jovano terangkat gagah. Pasti itu Aiden. Ia bergegas keruang tamu untuk menyambut kedatangan orang yang ia tunggu. Naasnya bukan senyuman hangat yang ia dapatkan, Jovano malah mendapati tatapan tajam dari seorang yang ia harap bukanlah ayahnya.
Theo melonggarkan dasinya kasar, sebelum menghampiri Jovano dan memberikan tamparan keras pada pipinya. Para pembantu yang ada dirumah itu mendapati Pemandangan itu sebagai hal yang biasa terjadi.
Tak cukup dengan satu tamparan Theo menjambak rambut Jovano dan menyeret anak itu mengikutinya kebagian belakang rumah, dimana drum-drum air berjejer rapih. Berulang kali Theo menenggelamkan kepala Jovano pada salah satu drum yang berisi air penuh hingga anak itu kesulitan bernapas. Sambil terus mengucapkan sumpah serapah padanya.
Belum puas, Theo menendang Jovano hingga ia terjatuh meninpa beberapa drum di belakangnya, menumpahkan semua air yang ada di dalamnya. Sekujur tubuh Jovano basah. Anak itu hanya tertawa dan tidak sedikitpun melawan, ia membiarkan Theo berlaku sesukanya.
Tak suka dengan reaksi Jovano, Theo berteriak memanggil Rizal. Meminta Rizal membawakan tonkat golf kesayangannya. Walaupun Rizal adalah pelayan setia Theo, tapi Rizal sangat menyayangi Jovano. Dia tahu betul apa yang anak itu lalui dari kecil sehingga ia berdalih, bahwa stik golf kesayangan Theo sedang dibersihkan, oleh salah satu pelayan yang ada.
Tak habis akal, Theo melepaskan ikat pinggangnya, ia memukul Jovano brutal dengan benda itu.
"Anak brengsek! Kamu, saya hidupi dari kecil! saya berikan tempat tinggal! Kamu pikir siapa kamu hah? Anak kurang ajar! Kamu tahu seberapa banyak uang hasil kerja keras saya, hanya untuk menutupi kelakuanmu yang bodoh itu? Kalau kamu mau hidup seperti preman jangan menyandang nama keluarga ini bangsat!" Maki Theo sambil terus memukul Jovano.
"Kerja keras ya?" batin Jovano. Ingin rasanya Jovano memuntahkan semua isi perutnya merasa jijik dengan keluarganya.
Semua orang mendengar yang nama Jovano Theodor, mereka akan kagum padanya, bagaimana tidak? dari keluarga konglomerat, memiliki otak yang encer, tubuh tinggi dan fisik yang masuk di standar masyarakat. Siapa yang tidak ingin menjadi Jovano? Namun faktanya Jovano benci keluarganya, tapi ia lebih membenci dirinya yang tak bisa berbuat apa-apa.
Tak bergeming, membuat murka Theo semakin membara. Dipanggilnya lah Gillian, ajudannya yang paling setia.
Tanpa menjawab apa-apa Gilian sudah ada di samping Theo.
"Seret bedebah ini masuk!" perintah Theo
Gilian menjambak surai hitam milik Jovano dan menyeretnya paksa ke dalam rumah. Jovano menggigit lidahnya kuat berharap indra pengecapnya itu putus. Dan dia bebas dari rumah terkutuk ini. Sayangnya wajah Aiden yang terlintas di benaknya membuatnya berhenti merealisasikan ide itu.
Sampainya diruang tengah, Gilian menghempaskan tubuh Jovano kuat. Membuat beberapa pelayan yang melihat itu meringis, seakan ikut merasakan rasa sakit Jovano.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Mama
Teen Fiction[ON GOING] Bayangkan jika kamu bertemu dengan seorang cowok yang mengaku dirinya adalah anakmu dari masa depan. Apa yang akan kamu lakukan? melarikan diri atau malah percaya dengan kata-katanya . Belum lagi ia membawa intruksi-intruksi aneh dan gak...