Delapan bulan dari sekarang, aku akan menikah. Jadi saat ini, aku adalah calon pengantin yang sedang sangat bahagia.
Di gereja kami ada aturan, setiap jemaat yang hendak menikah, wajib mengikuti konseling pra nikah selama enam bulan. Namun karena pendeta kami sedang ada beberapa kesibukan di setiap hari minggu siang, beliau mendaftarkan kami untuk mengikuti konseling di gereja pusat.
Gereja itu bercat kuning gading, dengan kubah bergaya Barok. Lokasinya yang tak terlihat dari jalan utama, membuat kami harus berputar-putar jalan beberapa kali, untuk bisa menemukan gereja itu.
Untungnya, meski sudah beberapa kali kesasar, ternyata kami masih bisa tiba lima belas menit lebih cepat daripada jadwal. Di kantor gereja, kami bertemu dengan seorang perempuan yang dengan ramah mengantarkan kami ke ruang konseling. Ternyata baru kami berdua yang datang. Pemberi konseling juga belum ada.
Ketika kami berbincang sambil mengisi waktu, seseorang masuk. Tampan berkulit kulit coklat dan tubuh atletis. Kami berkenalan dan mulai mengobrol. Ternyata dia datang sendirian, karena calon istrinya sedang menghadiri arisan keluarga dan akan datang terlambat.
Beberapa saat kemudian, datang orang berikutnya. Menyandang tas hitam, berbaju putih dan rapi sekali. Begitu melihat kami, dia langsung menyapa, "Syaloom." Mulutku sudah membuka untuk membalas sapaannya, ketika terpandang dengan jelas olehku, raut wajah orang itu. Mendadak suaraku hilang. Darahku bagai berhenti mengalir. Seluruh tubuhku pucat bergetar.
Memang sebelas tahun sudah berlalu. Tapi aku sangat yakin, biarpun lewat seribu tahun, begitu bertemu dengannya, aku pasti akan tetap bisa mengenalinya. Dimanapun, memakai apapun, setua apapun...
Dia berbicara lagi, tapi aku sudah tak bisa mendengar dengan jelas, apa yang diucapkannya. Yang bisa kudengar hanyalah degup jantungku yang dipalu begitu keras. Lalu dia duduk di bangku depan, menghadap ke arah kami. Ternyata, dialah yang akan memberi konseling.
Aku merasa sangat gugup. Kutundukkan wajah sedalam mungkin, agar dia tak bisa melihat, betapa pucatnya wajahku.
Aku terkejut ketika sebuah tepukan mampir di bahuku. Rupanya calon suamiku yang melakukannya.
"Kau kenapa? Bapak Pendeta bertanya siapa namamu," bisiknya dengan nada heran.
Belum pulih kagetku karena tepukan di bahuku tadi, aku semakin terkejut mendengar ucapan calon suamiku barusan. Bapak pendeta? Selama sepuluh tahun aku kelelahan mencarinya. Hari ini, setelah tanpa sengaja menemukannya, ternyata aku harus memanggilnya Bapak Pendeta. Refleks kuangkat wajah, memandang ke arah Bapak Pendeta itu.
Pasti hanya beberapa detik berlalu, ketika mata kami bertemu dan dia menyadari bahwa dia mengenalku. Aku yakin itu, sebab mulutnya memang tak mengatakan apa-apa, tapi wajahnya berubah, matanya berubah. Wajah kami menjadi sama, mata kami menjadi sama. Wajah orang yang merindu, mata orang yang merindu.
Sayang hanya sebentar kesamaan itu. Dia lebih mampu menguasai diri. Dia kembali tenang, seperti sebelum melihatku. Wajahnya berubah, matanya berubah. Aku terluka.
Sampai konseling bubar, pendeta itu tidak menanyakan ulang, siapa namaku.
.***.

KAMU SEDANG MEMBACA
INTAN YANG KUCARI
General FictionPencarian 10 tahun yang tak membuahkan hasil, membuat dia akhirnya menyerah. Berhenti mengharapkan seseorang dari masa SMA, dan menjalin hubungan dengan orang lain. Ketika pernikahan di ambang pintu, satu demi satu peristiwa terjadi, membuat dia ter...