Meski terasa lambat, sepuluh tahun berlalu sudah.
Pencarianku selama itu, belum juga membuahkan hasil. Dia tak ada di setiap pertemuan alumni, dia tak aktif di milis alumni. Facebook juga tak memunculkan wajahnya. Dia tak pernah kutemui di bis, di jalan, di mall, ataupun di rumah sakit. Ketika kutanya sepupuku, dia menjawab tidak tahu, itupun setelah habis-habisan meledekku sebagai korban cinta terpendam. Bertanya pada kawan-kawan, aku malah balik ditanya, "Tigor? Yang mana, ya? Dulu jurusan apa? Waktu kelas satu, kelas satu berapa?" Kawan akrabku sendiri malah meledek, "Pasti dia bukan orang yang tampan. Makanya tidak ada orang yang kenal." Habislah sudah.
Suatu hari sepulang kerja, kulihat ramai orang berkerumun di perempatan jalan. Ada motor bertabrakan dengan bis. Pengendara motor itu tewas seketika. Sambil menunggu ambulan, orang-orang mengangkat tubuhnya ke pinggir jalan dan menutupinya dengan koran. Sore itu hujan turun sangat deras dan darah yang mengalir dari tubuh orang itu bercampur dengan air hujan yang menggenangi jalan. Melihat kejadian itu membuatku lemas dan tak sanggup menelan makanan apapun sepanjang sisa hari. Malam harinya menjelang tidur, tiba-tiba sebuah pikiran melintas. Apakah saat ini Tigor masih hidup? Atau jangan-jangan seperti orang itu, dia sudah meninggal. Mungkin karena sakit, atau kecelakaan, atau apalah. Makanya sampai sekarang aku tak kunjung bersua dengannya.
Usai sepuluh tahun lewat tiga bulan, aku bertemu dengan seorang pria. Hatiku yang telah putus harapan untuk bertemu dengan Tigor, akhirnya bergetar melihatnya. Semangatku bergolak bila didekatnya. Aku tahu, akhirnya aku jatuh cinta pada lelaki selain Tigor. Lelaki itu juga mencintaiku. Maka kami memutuskan berpacaran dan setahun kemudian kami siap untuk menikah.
Aku sudah pernah mendengar dari teman-teman yang lebih dahulu menikah, materi yang akan disampaikan dalam konseling pra nikah. Yang tak pernah kudengar adalah, bahwa seseorang yang pernah dicari dengan susah payah selama sepuluh tahun, bisa tiba-tiba menampakkan wujudnya dalam sebuah kelas konseling. Terlihat tepat pada saat aku berhenti mencarinya. Muncul pada suatu waktu, ketika aku tak lagi berharap untuk bertemu dengannya.
.***.
Setiap hari sekarang berjalan lambat. Terlalu lambat. Aku ingin cepat bertemu minggu sore, supaya aku bisa menghadiri kelas konselingku.
Calon suamiku semakin sering meneleponku. Pasti dia takut kalau aku jadi mendua. Pikiranku memang bercabang sekarang. Aku mencintai calon suamiku, tapi aku juga merindukan bertemu dengan pendeta itu.
Ternyata bukan dia yang memberi konseling minggu ini. Aku gundah, tapi calon suamiku lega.
Minggu ketiga juga bukan dia, juga bukan pemberi konseling di minggu kedua. Rupanya ada empat pendeta berganti-ganti setiap minggu. Aku hampir meledak rasanya.
Bulan kedua minggu pertama. Akhirnya gilirannya tiba lagi.
Dia tak gugup, tak gelisah, tapi menghindari melihat ke arahku. Malah Calon suamiku yang gelisah dan bolak-balik mencolek tanganku, yang sibuk mengotori kertas dengan coretan pulpen. Sepanjang diskusi, aku merasa otakku hampa dan telingaku tersumbat. Mulutku terkunci rapat, meski suara-suara di sekitarku begitu riuh bertukar pendapat. Satu-satunya yang kurasakan bekerja adalah jantungku yang terus-menerus berdetak tak beraturan, bahkan kadang-kadang seakan hendak melompat ke luar dari tubuhku.
Cepat sekali waktu berlalu. Kelas konseling akhirnya usai. Dia akhirnya berlalu setelah mengucapkan "Sampai jumpa di pertemuan berikutnya". Dari balik punggung calon suamiku, aku memandang kepergiannya dengan pilu.
.****.
Pasti aku sebenarnya masih mencintai dia. Sebab setelah bertemu kembali dengannya, aku tak sanggup berhenti memikirkan dia. Mimpi-mimpiku hampir semuanya tentang dia. Dia memanggil-manggilku, aku melihatnya menikah dan entah apa lagi. Aku merasa berdosa pada calon suamiku. Aku tahu, aku sudah menduakan dia. Tapi aku tak mampu untuk tak terkenang-kenang pada Tigor. Aku bingung. Aku sedih.

KAMU SEDANG MEMBACA
INTAN YANG KUCARI
General FictionPencarian 10 tahun yang tak membuahkan hasil, membuat dia akhirnya menyerah. Berhenti mengharapkan seseorang dari masa SMA, dan menjalin hubungan dengan orang lain. Ketika pernikahan di ambang pintu, satu demi satu peristiwa terjadi, membuat dia ter...