Syukurlah aku tinggal serumah dengan adikku.
Dialah yang mengurusku selama aku sakit. Katanya, berulang kali aku mengigau. Menjerit-jerit, menangis keras, membuat dia panik dan ikut-ikutan menangis.
Aku tak pernah bercerita pada adikku, mengapa aku bisa sakit. Tapi pasti dia sudah tahu, karena di hari ke empat aku sakit, bekas calon suamiku datang dengan wajah gundah. Rupanya adikku yang meneleponnya, setelah dia curiga, mengapa sampai tiga hari aku sakit, dia belum datang juga menjengukku.
Sayangnya dia datang bukan lagi sebagai calon suamiku. Aku menolak dijenguk olehnya. Aku menjerit mengusir dia pergi dari kamarku. Kudengar dia menangis, memanggil namaku dengan penuh sesal. Tapi apa guna tangisannya itu sekarang, setelah dia mengabaikan teriakanku minta tolong dan membiarkanku jatuh ke dalam jurang?
Adikku akhirnya sadar, sesuatu yang buruk sudah terjadi.
Malam itu demamku semakin tinggi, sampai-sampai kupikir aku akan membeku karena aku merasa begitu kedinginan. Adikku memanggil dokter yang tinggal di dekat rumah untuk memeriksaku. Obat yang kuminum membuatku tertidur, meski tetap terjaga sebentar-sebentar. Ketika aku terbangun kembali di siang hari, aku melihat Mamak duduk di sampingku.
"Mak..," panggilku lemah.
Mamak membungkukkan badan untuk memelukku. Dia menemaniku menangis.
Di pelukan Mamak, aku merasa begitu tentram. Aku bagai kembali menjadi anak kecil yang mengadu ke pelukan Ibuku. Kubasahi bajunya dengan air mataku. Aku terus menangis sampai puas, sampai aku kelelahan dan tertidur di pelukannya.
Begitu Mamak datang, barulah aku mau makan. Bubur sumsum dan gula merah cair, makanan yang selalu dibuatkannya untukku, kalau aku sakit.
.****.
Sore itu aku duduk di teras kecil rumah kami, menunggu adikku selesai membuat pisang goreng. Mamak sedang mandi.
Sebuah mobil terlihat berhenti di depan pagar rumah kami. Darahku bergolak. Tubuhku melemas. Aku kenal mobil itu. Belum sempat memulihkan tenaga, kulihat bekas calon suamiku dan orang tuanya, sudah berdiri di depan gerbang. Bahkan sesaat kemudian, kusadari mereka sudah berdiri di depanku.
Mataku beradu pandang dengan mata bekas calon suamiku.
Air mataku langsung mengalir.
Tiba-tiba Ibunya menangis sambil memelukku. Apa yang ditangisinya? Penderitaankukah? Bukankah dia yang menyebabkannya? Aku merasa dipeluk oleh Yudas. Dia memelukku, tapi dia mengkhianatiku.
Mamak yang baru selesai mandi, terperanjat ketika melihat mereka. Buru-buru dipersilahkannya mereka masuk dan mengambilkan tisu untuk mengeringkan air mataku.
"Eda, maafkanlah kami." Ibu bekas calon suamiku berkata kepada Mamak, sambil menangis.
Mamak sudah tahu semuanya. Dia juga terluka hati dan kecewa. Setelah rencana pernikahan kami ditunda, dia sibuk membatalkan pesanan gedung, memberitahu pendeta dan serikat marga, bahwa pernikahan kami diundur. Dan sekarang, dia kembali harus memberitahu kepada semua famili dan kenalan, bahwa ternyata aku tak jadi menikah. Betapa malunya dia.
Tapi apa jawaban Mamak, yang sudah mengecap pahit dan manis kehidupan ini?
"Sudahlah, Eda. Rupanya mereka memang tidak berjodoh. Apa yang mau dikatakan lagi. Sekarang kita doakan saja, supaya siapapun jodoh mereka, mereka bisa bahagia."
Mamak tak marah-marah. Padahal kuharapkan dia berempati denganku. Mewakiliku memaki mereka, menghina mereka, membuat mereka merasa bersalah seumur hidup. Sungguh tidak ada makian, tidak ada kemarahan. Yang ada hanyalah memaafkan. Mamak memilih memaafkan mereka. Aku memilih tak berbicara sepanjang pertemuan itu. Aku marah pada Mamak, aku merasa dia juga turut mengkhianatiku.
Malam itu, aku demam lagi. Padahal sebelumnya, aku sudah mulai sembuh.
.****.

KAMU SEDANG MEMBACA
INTAN YANG KUCARI
General FictionPencarian 10 tahun yang tak membuahkan hasil, membuat dia akhirnya menyerah. Berhenti mengharapkan seseorang dari masa SMA, dan menjalin hubungan dengan orang lain. Ketika pernikahan di ambang pintu, satu demi satu peristiwa terjadi, membuat dia ter...