14

1 0 0
                                    

Hujan deras sekali.

Hibiscus rosasinensisku mengangguk-angguk pasrah dipermainkan angin. Aku melihat hujan memukul-mukul bunga dan daun-daunnya, seolah-olah cemburu pada warnanya yang semarak.

Sekarang jam lima sore. Hujan baru mulai turun.

Biasanya Tigor datang jam enam-an. Apa dia akan datang kalau hujan sederas ini?

Aku gelisah. Meski aku tak tahu, aku gelisah karena dia akan datang, atau karena dia tak akan datang. Sebab kedua hal tersebut, punya sebab yang bisa membuatku gelisah.

Jika dia datang, mungkin kami akan melanjutkan pembicaraan yang terputus beberapa hari lalu. Dan itu akan membuatku gugup. Jika dia tak datang, berarti paling cepat hari minggu malam, baru bisa bertemu dengannya. Padahal aku benar-benar merindukan dia.

"Aduhh, mondar-mandir di depan TV." Adikku mengomel.

Aku bengong. Aku baru sadar, bahwa dari tadi aku sudah beberapa kali bolak-balik di depan TV.

"Gelisah amat. Memang Pak Pendeta hari ini mau melamar, ya?"

Aku memanjangkan mulutku, untuk mengejek kecerewetannya. Tak kukatakan apa-apa. Aku selalu senang membuat dia penasaran.

Hujan terus turun. Di depan pagar, sebuah motor berhenti. Tigor memasuki teras berbalut mantel kuning.

Adikku tersenyum dengan wajah 'tak menyangka', melihat Tigor datang menembus hujan sederas itu. Aku sendiri bangga luar biasa. Dia rela berhujan-hujan demi menemuiku. Begitu dia membuka helm, senyumnya langsung mengembang lebar.

Tiga gelas teh panas segera tersaji di meja kecil. Tigor terlihat agak kedinginan. Kuambil selimut tipis dari lemari. Dia menyambut dengan senang.

"Luar biasa, hujan sederas ini 'diseruduk' juga. Beruntung sekali Kakakku mendapatkan Pak Pendeta." Adikku bicara sambil tersenyum-senyum.

Mukaku merah bagai kepiting mendengar godaannya. Tigor juga terlihat merah wajahnya, tapi dia segera tersenyum.

"Pak Pendeta, kalau punya kawan lelaki yang seperti Pak Pendeta, aku juga mau," Adikku meneruskan menggoda. Aku tak sabar, kupukul kepalanya dengan bantal. Dia pura-pura mengaduh, tapi tetap saja meneruskan bicara:

"Selama ini, pria yang mendekatiku, kena gerimis sedikit saja langsung demam. Apalagi kalau disuruh berhujan-hujan seperti Pak Pendeta..."

"Cerewet," ujarku sambil sekali lagi memukulkan bantal ke tangannya.

"Aduhh, inilah jeleknya punya kakak yang sedikit bicara, banyak bekerja. Karena mulutnya tak bisa melawan, akhirnya dia melawan dengan kekerasan. Selama jadi adiknya, entah sudah berapa ribu kali aku dipukuli begini." Sekarang dia berlagak mengadu. Tigor tersenyum-senyum sambil melihat reaksiku diganggu adikku.

Mauku sebenarnya berlagak tak peduli. Tapi begitu kulihat adikku mulai bersiap membuka mulut, lagi-lagi bantal di tanganku beraksi.

"Berhenti..." teriakku. Adikku akhirnya tertawa, mungkin dia merasa puas berhasil menggangguku.

Masih terus tertawa dia berdiri sambil mengangkat gelasnya.

"Daripada aku disiksa terus, lebih baik aku ke kamar saja," katanya, lalu dia pamit kepada Tigor.

Hening sejenak.

"Sudah merasa lebih hangat?" tanyaku.

"Iya. Selimut, teh panas dan kau di dekatku, membuatku merasa hangat luar dalam."

Aku tertawa mendengar jawabannya. Dia bisa menggombal juga.

Dia memandangku mesra dengan matanya yang lembut. Aku membalas tatapannya dengan senang. Dalam hati aku berjanji, tak akan merusak kemesraan ini.

INTAN YANG KUCARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang