6

1 0 0
                                    

Pohon mangga itu, aku yang menanamnya.

Pohon rambutan itu juga. Keduanya tumbuh di halaman depan rumah tipe empat puluh lima yang dibeli calon suamiku. Kukatakan padanya, bahwa aku ingin agar kami dan anak-anak kami kelak, bisa bercengkerama di bawah rindang pepohonan buah tersebut, sambil memetik sesuka hati buah-buahnya.

Pagar rumah bermotif bunga mata hari itu, juga aku yang memilihnya.

Rumah itu masih kosong, tapi sudah bisa ditempati kapan saja. Dindingnya sudah dicat biru lembut, dapurnya sudah dilengkapi wastafel cuci piring. Teras depan sudah ditambah keramiknya. Semua sudah lengkap. Tinggal dimasuki saja.

Tapi apa arti semuanya itu sekarang?

Ya, aku tak akan pernah menjadi penghuni rumah itu. Mimpiku untuk hidup dan membesarkan anak-anakku di situ, sekarang hanya tinggal kenangan. Laki-laki yang selalu kusebut sebagai calon suamiku itu, ternyata tidak akan membawaku sebagai pengantinnya, untuk menempati rumah itu. Dia memilih perempuan lain. Kakak iparnya sendiri!

Setelah anak tertua mereka meninggal, kedua orang tua calon suamiku resah, melihat menantu perempuan yang sedang mengandung cucu pertama mereka. Dalam adat kami, nama yang diberikan kepada cucu pertama, sekaligus akan menjadi nama baru yang dipergunakan untuk memanggil kakek dan neneknya. Rupanya orang tua calon suamiku takut, jika sang menantu menikah lagi dengan lelaki lain dan membuat terputus hubungan antara cucu pertama dengan kakek dan neneknya. Keputusan lalu diambil, sang menantu harus tetap menjadi menantu selamanya. Caranya, calon suamiku harus menikah dengannya.

Sekarang aku tahu, mengapa seminggu lalu, tiba-tiba calon suamiku mengirimiku sebuah pesan, "Kalau kau melihat orang tuamu dan aku sedang tergantung di tepi jurang, sedang kau hanya bisa menyelamatkan salah satu di antara kami, siapa yang akan kau pilih?" Aku tertawa waktu menerima pesan itu. Lalu setelah berpikir asal-asalan, kujawab juga. "Aku pasti memilih orang tuaku. Sebab sudah kulihat bahwa jurang itu tidak terlalu dalam. Jadi kalaupun kau jatuh, kau cuma kesakitan saja, tidak sampai mati. Tidak mungkin kubiarkan orang tuaku yang jatuh. Mereka sudah tua, nanti tulang-tulangnya patah."

Aku merasa ditipu oleh keluarganya. Sebulan setelah kematian Abangnya, orang tuanya meminta agar rencana pesta pernikahan kami ditunda. Sebab tak pantas jika mengadakan pesta pernikahan, padahal baru saja mengalami kemalangan. Aku dan seluruh keluargaku maklum. Pernikahan kami ditunda sepuluh bulan. Lama sekali memang, tapi tak mengapa. Obrolan kami hanya mengenai itu saja. Tak ada tanda bahwa mereka akan membatalkan pernikahan, tak terlihat niat mereka untuk memisahkan kami berdua.

Aku tidak tahu, apa yang sudah dikatakan kedua orang tuanya, sehingga dia memilih menikahi iparnya. Aku juga tidak tahu, apakah iparnya juga menyetujui pernikahan itu. Tapi rupanya, setelah hatinya mantap untuk mengikuti kemauan orang tuanya, barulah dia datang ke tempatku. Dia datang bukan untuk berdiskusi, bukan untuk memintaku menolong memecahkan masalahnya, tapi hanya untuk memberitahuku, keputusan yang sudah diambilnya.

Dia pasti tahu, bahwa aku akan sangat tergoncang, karena itu dia sengaja menemuiku di rumahku. Memang aku pingsan setelah mendengar bahwa dia akan menikahi iparnya. Ketika sadar, kudapati diriku sudah berada di atas tempat tidur di kamarku. Dia duduk dengan mata sembab di sampingku, tangannya sibuk memijati kepalaku.

Biasanya aku senang kalau dia memijatku seperti itu. Tapi sekali ini, aku merasa sangat marah kepadanya. Dengan kasar, kutepiskan tangannya dari kepalaku. Bersamaan dengan itu, aku tak mampu menahan sedu sedanku.

Aku menangis dengan keras. Kutelungkupkan wajah ke bantal, supaya orang tidak mendengar jeritanku. Jeritan seorang perempuan yang dihancurkan hatinya, oleh orang yang sangat dicintainya. Oleh lelaki yang sampai beberapa waktu lalu, masih dianggap sebagai calon suaminya.

Aku menangis sangat lama. Aku baru berhenti menangis, ketika aku merasa sangat lelah dan sangat haus. Ketika beranjak untuk mengambil minum, kudapati bahwa dia- yang sekarang bukan calon suamiku lagi-, masih duduk di tempatnya semula. Matanya bengkak, wajahnya tanpa cahaya.

Usai menghabiskan dua gelas besar air, aku duduk bersandar di tempat tidurku. Begitu aku bersandar, air mataku langsung berjatuhan lagi.

"Rian, maafkanlah aku," kudengar dia berkata.

Aku tak bisa menjawabnya. Aku ingin memakinya, menghujaninya dengan semua kata-kata kejam, tapi tak sepatah suarapun ke luar dari mulutku. Hanya air mataku yang meleleh sangat deras, sampai mataku menjadi sulit untuk dibuka.

"Aku memilih membiarkanmu jatuh dan menyelamatkan orang tuaku. Sebab seperti yang kau katakan, jurang itu tidak dalam. Kau memang akan kesakitan, tapi kau tidak akan mati," katanya lagi.

Tangis bisuku berganti dengan sedu sedan. Namun aku tetap tak punya kata untuk diucapkan, meski mulutku sudah mampu untuk bersuara. Rupanya kesedihan hatiku terlalu berat untuk disampaikan lewat kata-kata.

Dia bicara entah apa lagi. Entah apa lagi, aku sungguh-sungguh tidak ingat. Yang aku ingat aku terus saja menangis. Menangis sampai jam dua pagi, ketika dia pamit pulang. Dan terus menangis, sampai dari mesjid di dekat jalan, aku mendengar suara adzan subuh.

Setelah itu, aku demam tinggi...

.*****.

INTAN YANG KUCARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang