Tigor...
Kudapati sms bertuliskan namanya di telepon genggamku. "Bolehkah aku datang ke rumahmu?" Dia pasti sudah mendengar kejadian yang kualami ini. Tapi dari mana dia bisa mendapat nomor teleponku?
Tak kubalas smsnya. Dia meneleponku, tak kuangkat. Aku tak ingin bertemu dengannya, aku tak ingin berbicara dengannya.
Hari Sabtu. Aku, Ibu dan adikku duduk santai di ruang tamu.
"Besok kita sudah bisa ke gereja, ya?" tanya Ibuku.
Aku tak menjawab. Mereka menunggu.
"Iya. Sudah sebulan kau tidak ke gereja," akhirnya adikku yang menjawab.
"Aku tidak ikut. Aku masih sakit."
Aku tidak berbohong. Demam di badanku memang sudah sembuh, tapi jauh di hatiku, aku terluka parah, sangat parah!
.****.
Rupanya seisi gereja sudah tahu peristiwa buruk ini.
Ada di Warta Jemaat: Akan menikah, Parulian Naarga Pane dengan Cherry Anastasia. Semua yang mengenal kami berdua menjadi kaget dan bingung.
Telepon genggamku terus menerus berdering. Tak satupun yang kuangkat. Dari Siska, Devi, Rena, Tiar, Andika, tak satupun. Sebab mereka pasti cuma ingin mendengar cerita sedihku. Ingin tahu dari mulutku sendiri, apa yang sedang terjadi.
Tak usahlah. Aku tak sudi nasib burukku mereka bahas sambil menikmati bakmi atau menunggu giliran antrian di bioskop. Tidak. Cukup aku dan keluargaku yang tahu. Kalaupun suatu saat aku merasa ingin bercerita, pasti bukan kepada mereka, tapi kepada anakku, supaya dia bisa belajar dari pengalaman pahit Ibunya.
.****.
Parulian Naarga Pane...
Dulu nama itu begitu manis terdengar. Seribu kali lebih merdu daripada suara Andrea Bocelli. Dulu aku selalu tersenyum setiap menyebut namanya, ketika sedang berkhayal sendiri, ketika sedang menggodanya, ketika ingin memanggilnya dengan nama lengkapnya.
Sekarang, air mataku pasti berlinang setiap mendengar atau mengingat nama itu. Nama itu kini menjadi pembangkit duka, pemanggil derita, pengingat nasib buruk. Karena itu, kuputuskan untuk menghapus namanya dari daftar di telepon genggamku.
Tapi aku hafal nomor teleponnya di luar kepala. Sehafal namanya, tanggal lahirnya, hobinya, mimpi-mimpinya. Otakku juga merekam detil wajahnya yang beralis tebal dan berlesung pipi, biarpun semua fotonya telah kubakar. Bagaimana menghapus semua ingatan itu dari kepalaku? Bagaimana membuatku tak lagi melihat telepon genggamku setiap saat, berharap dia meneleponku, dan mengatakan kalau dia tak jadi menikah?
Sekarang semua hal bisa membuatku menangis. Mendengar erangan anak kucing yang ditinggal induknya, melihat gerimis dari balik jendela, tanpa sengaja mendengar lagu sedih di radio, semuanya membuatku mengeluarkan air mata. Apalagi kalau kulihat kebaya kuning gading dan songket yang sudah kusiapkan untuk pernikahanku, aku bisa tersedu-sedu sampai berjam-jam, membuat adikku akhirnya memutuskan untuk menyingkirkan kedua benda itu dari kamarku.
Beberapa hari lagi dia akan menerima pemberkatan nikah.
Di hari-hari itu, aku semakin sering memecahkan gelas dan piring. Tanpa sengaja sebenarnya. Benda-benda itu seakan terlepas begitu saja dari genggamanku. Ibuku cemas, adikku sangat kuatir. Akhirnya aku dilarang membantu mereka di dapur. Menyapu rumahpun aku belum boleh. Kata mereka aku masih belum sehat benar. Jadi sepulang dari susah payah berkonsentrasi di kantor, aku hanya boleh langsung mandi, makan dan istirahat.
Sebenarnya aku tidak butuh istirahat. Aku hanya butuh dia, Parulian Naarga Pane, untuk menemaniku seperti dulu, menghapus air mataku dan mengatakan kalau dia akan menikahiku. Aku ingin dia membawaku sebagai istrinya, menempati rumah yang pagarnya bercat kuning. Menemaniku memupuk pohon mangga.
Setiap malam aku tak berani tidur. Sebab kalau aku tidur, aku akan terbangun di hari yang berbeda. Hari yang baru, yang semakin dekat dengan hari pemberkatan pernikahannya. Aku tak boleh tidur, sebab aku harus mencegah bergantinya hari.
Mataku jadi berkantung hitam. Wajahku suram dan tubuhku mengurus. Begitu banyak yang sudah kukorbankan untuk mencegah berlalunya hari, tapi perlawananku itu tak cukup kuat.
Dan hari itu memang akhirnya tiba. Kubayangkan dia berdiri menghadap pendeta di depan altar. Memegang tangan perempuan lain, memasukkan cincin di jari perempuan lain, berjanji setia sampai mati dengan perempuan lain.
Hari itu, aku ingin mati saja...
.****.
Aku bermimpi melihat istrinya mati. Aku berdiri di tepi peti matinya, melihat dia berkebaya pengantin, terbaring dihias bunga-bunga lily dan mawar. Aku melihat dia menangisi istrinya, sementara aku berdiri di sampingnya sambil tertawa-tawa. Aku merasa senang, karena dia akan kembali menjadi milikku.
Waktu terbangun, aku merasa sangat berdosa. Aku berdoa minta ampun. Aku memang sangat mencintai dia dan sangat menderita karena ditinggal olehnya. Tapi sedikitpun tak terbersit di pikiranku, untuk mengharapkan kematian istrinya. Sungguh, jauhlah itu dariku, mengharapkan kebahagiaanku di atas kematian istrinya.
Mimpi itu memang tak berulang. Tapi selama berminggu-minggu, mimpiku selalu menyertakan dia. Aku berada di dasar jurang, sementara dia tertawa-tawa memandangiku dari tebing; aku hanya terbengong-bengong melihat dia menjerit-jerit terbawa arus sungai yang deras, dan entah apa lagi. Banyak sekali mimpiku. Aku kelelahan, aku merasa nyaris gila. Aku meratap dalam doaku, memohon agar aku diberi kemampuan untuk melupakan dia. Untuk melanjutkan hidupku dengan gembira.
Akhirnya perlahan-lahan mimpiku berubah. Aku mulai bisa tersenyum, sudah bisa bercanda-canda dengan Mamak dan adikku, sudah bisa memasak lauk kesukaan Mamak.
Terasa berat memang. Delapan bulan sudah berlalu, ketika genap sebulan penuh, aku tak lagi bermimpi tentang dia.
.****.

KAMU SEDANG MEMBACA
INTAN YANG KUCARI
General FictionPencarian 10 tahun yang tak membuahkan hasil, membuat dia akhirnya menyerah. Berhenti mengharapkan seseorang dari masa SMA, dan menjalin hubungan dengan orang lain. Ketika pernikahan di ambang pintu, satu demi satu peristiwa terjadi, membuat dia ter...