10

1 0 0
                                    

Aku tak mampu menolak pesonanya. Aku sudah berjuang, tapi aku tak sanggup. Dia begitu memikat, membuatku tak berdaya.

Aku masih bersedih setiap mengingat Abangnya. Aku masih sakit hati, setiap mengingat orang tuanya. Aku masih berkebaktian di gereja lain, supaya tak bertemu dengan seluruh keluarganya. Tapi anehnya, di saat yang sama, aku malah terpikat olehnya. Mungkin sebenarnya aku sudah gila.

Dia semakin terbuka tentang perasaannya.

"Apa kau tahu kalau aku lebih tua setahun darimu?" tanyanya lewat telepon.

"Tahu."

"Mengapa kau biarkan aku terus-menerus memanggilmu Kakak?"

"Kau yang memilih memanggilku begitu. Aku cuma membebaskanmu mengerjakan pilihanmu."

"Baiklah. Sekarang, kau mau kupanggil apa?"

"Dipanggil Kakak sebenarnya tidak jelek. Aku hanya punya satu adik, jadi masih bisa ditambah lagi."

"Tapi aku lebih membutuhkan seorang kekasih dari pada seorang kakak."

Aku tak menjawab apa-apa lagi, tapi wajahku terasa hangat.

Di saat yang sama, aku juga kembali terpesona oleh Tigor.

Dulu aku memang tidak mengenalnya. Tapi sekarang aku tahu banyak tentang dirinya. Matanya yang bersinar lembut, ternyata cerminan dari kelembutan hatinya. Sikapnya tenang dan menentramkan. Di dekatnya aku merasa dimanjakan. Sebanyak apapun ceritaku, dia selalu mendengarkan dengan serius. Jika aku sedang uring-uringan, dia selalu berhasil menenangkanku.

Mario bagai pemburu yang mengejarku. Aku senang dikejar-kejar begitu.

Tigor bagai pohon rindang yang menudungiku. Aku tentram berteduh di bawahnya.

Mario membangkitkan kenakalan masa kecilku. Aku bergairah karena itu.

Tigor menuntunku menuju kedewasaan yang lebih matang. Aku tenang karena itu.

Ahhh...

.****.

Tiba juga hari itu, ketika suatu hari Mario datang dengan sikap gugup. Hatiku menebak-nebak, apakah dia hendak menyatakan cinta padaku, makanya dia terlihat tak tenang begitu? Terus terang, tebakan itu membuat jantungku menjadi sibuk luar biasa.

Sekarang hari Kamis, jadi kami tak akan disela oleh kehadiran Tigor. Tiap kamis, dia memimpin kebaktian pemuda di gerejanya.

"Aku tahu, sampai sekarang kau masih akrab dengan Tigor," katanya membuka percakapan.

"Tapi, rupanya dia belum mengatakan apa-apa padamu, ya?" pancingnya.

Aku memandangnya dengan wajah bertanya.

"Kita sudah sama-sama dewasa. Pasti kau sudah tahu kalau aku mencintaimu."

Aku tahu, tapi jantungku yang sejak tadi memukul-mukul tanpa irama, sekarang berpadu dengan nafas yang terhenti sesaat, setelah mendengar ucapannya.

Dia mengulurkan tangannya meraih tanganku. Aku tak berdaya menolaknya.

"Tanganmu dingin," katanya separuh berbisik. Aku tersipu, mukaku terasa panas sekali.

Malu-malu kulayangkan pandang ke wajahnya. Tiba-tiba, yang kulihat justru wajah Parulian.

Aku terperanjat. Refleks kutarik tanganku dari genggamannya. Dia tersentak kaget lalu memandangku kecewa.

"Aku tidak bisa," kataku cepat.

"Karena Abangku?" kudengar suaranya sangat gusar.

"Ya, karena dia," jawabku berterus terang.

"Sudah setahun lebih. Mengapa kau membuang waktumu untuk terus mengingat-ingat dia?"

Aku terbelalak mendengar jawabannya. Betapa beraninya dia.

"Abangmulah yang membuatku menyia-nyiakan waktuku!" Aku berseru marah.

"Ternyata kau masih marah."

"Ya. Aku memang masih marah. Tentu saja kau tidak akan mengerti, mengapa sampai sekarang aku masih marah. Karena bukan kau yang sudah membeli kebaya pengantin, ikut konseling pra nikah. Juga bukan kau yang sakit berminggu-minggu dan tak dihargai perasaannya oleh seluruh keluargamu. Wajar kalau kau tak mengerti," kataku marah dan pilu.

"Kami bukan tak menghargai perasaanmu. Tapi kami terpaksa. Papa dan Mama selalu mengatakan bahwa mereka bersalah padamu. Kalau memang mereka tak menyukaimu, pasti mereka tak akan mendorongku untuk mendekatimu."

Aku malah naik pitam mendengar jawabannya. Debar cinta di jantungku, berganti menjadi debar kemarahan.

"Begitu, ya?! Jadi kau mendekatiku, untuk menghapus rasa bersalah orang tuamu? Bagus sekali. Lagi-lagi orang tuamu menyuruh anaknya berkorban untuk mewujudkan kemauan mereka."

"Jangan asal bicara. Orang tuaku tidak seburuk itu."

Aku tertawa sinis.

"Tentu tidak. Orang tuamu sangat mulia. Begitu mulia. Wajar kalau anak-anaknya ingin berkorban untuk mereka."

"Rian, aku tahu kau sakit hati pada mereka. Tapi mereka hanya ingin melindungi menantu mereka."

Aku memandangnya angkuh.

"Melindungi menantu mereka, atau melindungi diri mereka sendiri?! Kau sendiri, kau ingin melindungi siapa dengan mendekatiku? Orang tuamukah? Supaya aku tak lagi membenci mereka?!"

Dia memandangku dengan raut marah.

"Rian, apapun anggapanmu tentang orang tuaku, aku tak peduli. Tapi aku berkata jujur, aku mencintaimu dengan tulus, bukan karena suruhan orang tuaku."

"Apa buktinya kalau kau mencintaiku?" tantangku

"Aku.., apa maksudmu?" tanyanya ragu.

"Kau tahu aku tak menyukai orang tuamu. Apa demi aku, kau sanggup meninggalkan mereka?" dengan sinis aku bertanya.

Dia membisu. Wajahnya pilu.

"Satu hal lagi. Waktu orang tuamu meminta Abangmu untuk menikahi ipar kalian, sebenarnya aku sangat berharap, kau mau menggantikan Abangmu untuk menikahi dia. Aku tahu kau tidak punya pacar. Kau juga lebih tua dari iparmu itu. Tapi kau diam saja. Kau membiarkan Abangmu mengorbankan dirinya, mengorbankan aku. Dan sekarang kau mengatakan kalau kau mencintaiku. Apa kau pantas mengatakan itu?" Air mataku bercucuran ketika mengatakan itu.

Aku sangat marah sekarang. Luka hatiku kembali terbuka.

Aku bahkan sudah tak ingat, bahwa tadi aku masih jatuh cinta padanya.

.****.

INTAN YANG KUCARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang