13

1 0 0
                                    

Tigor...

Bagaimana dia bisa salah menilaiku? Mengapa dia bisa jatuh cinta padaku? Aku bukan perempuan yang baik, sungguh tak pantas untuk laki-laki biasa, apalagi untuk seorang pendeta.

Aku menangis dengan perasaan merana di kamarku. Aku terombang-ambing oleh perasaanku. Bagaimana bisa aku mencintai Parulian dan Tigor di saat yang bersamaan? Bagaimana bisa, aku yang baru semalam mengatakan mencintai Tigor, hari ini membuat pengakuan, bahwa aku merindukan Parulian? Manusia macam apa aku ini?

Tadi aku berpelukan dengan Parulian. Di belakang gereja, tepat di hari natal, ketika semua orang sedang merasakan suasana surga, kami justru memilih tinggal di neraka. Kami saling mengatakan kalau kami masih saling mencintai. Parulian membisikkan kata-kata rindu untukku. Aku terbuai, aku tersanjung, aku lupa kalau dia suami orang. Merindukannya sajapun sudah tak boleh.

Bagaimana kalau Tigor tahu, bahwa perempuan yang dicintainya, mencintai suami orang? Perempuan itu memancing suami orang, untuk datang menemuinya di tempat sepi, lalu memeluk lelaki itu. Apa kata Tigor tentang perempuan seperti itu?

Aku terguncang. Aku tahu aku berdosa, aku berdosa... Jika aku hidup di jaman orang Farisi, aku pasti sudah dilempari batu sampai mati.

Entah jam berapa, ketika kudengar pintu kamarku diketuk. Rupanya aku tertidur.

"Ada Pak Pendeta," kata adikku, setelah aku membuka pintu kamar.

Aku merasa lesu. Bagaimana aku menghadapinya?

"Temani dia dulu, ya. Aku mau mandi sebentar," pintaku sambil menyambar handuk.

Rupanya dia sudah di ruang tamu. Aku jadi malu dia melihatku acak-acakan sebangun tidur. Untunglah dia cuma tersenyum saja.

Di kamar, waktu aku sedang berbedak sedikit, adikku datang menghampiri.

"Aku pergi saja. Aku tidak mau mengganggu orang yang baru berpacaran."

"Heh, kau mau ke mana?" protesku. Aku benar-benar tak ingin dia pergi. Setelah pengkhianatanku tadi pagi, aku tak berani berdua saja dengan Tigor.

"Mungkin ke Rusia, atau Argentina, lihat nanti saja. Yang penting pergi," katanya sambil berlalu. Begitu aku ke luar kamar, dia buru-buru pamit pada Tigor. Aku cuma bisa menggeleng-gelengkan kepala.

Di meja sudah terhidang dua gelas sirup dan setoples kue.

"Apa kau sudah makan?" tanyanya lembut setelah aku duduk di dekatnya.

Aku menggeleng. Makan apa? Aku bahkan tidak tahu, ini jam berapa. Kulongok pandang, di luar ternyata sudah gelap. Kulihat jam, sudah pukul tujuh rupanya.

"Aku juga belum. Mau cari makan dulu?"

"Tidak usah. Kami memasak."

Sebentar kemudian, kami sudah menikmati nasi, lalapan dan rendang. Hidangan khas keluarga kami di hari natal. Baru kusadari, aku sangat lapar. Terakhir kali aku makan adalah kemarin sore, sebelum berangkat ke gereja bersama Tigor.

Sambil makan, Tigor beberapa kali memandangiku. Aku pura-pura tak tahu. Aku tak berani membalas tatapannya, takut dia melihat dosa di mataku.

"Rendangnya enak," pujinya sambil menambah nasi. Ucapannya malah membuatku semakin resah. Semua makanan yang kusuap, terasa hambar di mulutku.

Aku berulang-ulang meneleponmu. Tapi tidak bisa masuk," dia memberitahu.

Tentu saja, sebab sepulang bertemu Parulian, telepon itu sengaja kumatikan. Aku takut kalau Parulian atau Tigor menghubungiku. Aku tak berani.

INTAN YANG KUCARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang