9

1 0 0
                                    

Hibiscus Rosasinensis alias kembang sepatu. Tiba-tiba aku jadi rajin menyebutkan nama itu, setelah membaca novel 'Mekar Karena Memar' yang menyebut-nyebut nama bunga itu. Apalagi karena bunga itu tumbuh tinggi dan kokoh di halaman rumah kontrakanku yang kecil, membuatku merasa dekat dengan tokoh utama novel itu. Di bawah lindungan bunga itulah, di suatu sore yang sejuk, untuk kesekian kali kupanjatkan doa meminta pemulihan dari segala rasa sakitku.

Saat itulah Tigor datang. Hatiku berdebar melihatnya. Aku baru saja mengucapkan 'Amin' dan tiba-tiba dia datang. Secepat inikah doaku dijawab? Diakah yang akan membantuku sembuh dari luka hatiku? Aku jadi gugup, sampai lupa mengajaknya duduk. Dia turut berdiri di sampingku dan baru duduk ketika adikku muncul di teras dan bertanya mengapa kami tidak duduk.

Kami duduk di teras. Kulihat dia rapi sekali. Aku bertanya-tanya di hati, apakah dia serapi itu demi mengunjungiku? Kalau ya, hmm.., terus terang, aku merasa senang.

"Dari mana kau tahu rumahku?" tanyaku setelah kami diam beberapa saat.

"Dari pendeta di gerejamu."

Kembang sepatu bagai mekar juga di hatiku, mendengar bahwa dia berani menghubungi pendeta kami, hanya untuk meminta alamatku.

"Bagaimana keadaanmu?" tanyanya lagi.

"Kau sudah datang ke sini. Simpulkanlah sendiri," jawabku ketus, membuatnya tertegun sebentar. Aku menyesal.

"Sepertinya pertanyaanku tadi, salah ya?" suaranya lembut bertanya, menggugah rasa bersalahku. Aku memandangnya malu.

"Aku minta maaf, tidak mudah bagiku untuk menerima keadaan ini,. Aku senang kau kunjungi."

Senyumnya merekah ketika mendengar baris terakhir kalimatku. Kulihat matanya bercahaya riang memandangku, membuatku tak sanggup menahan semburat merah di wajahku. Mengapa pula aku jadi begini?

Dia mulai bercerita, aku mendengarkan saja. Pengalamannya sebagai pendeta muda, perasaannya ketika pertama kali berkhotbah di depan jemaat, lalu beralih ke cerita masa kecilnya.

Hampir jam delapan malam ketika dia pamit. Setelah menutup pintu gerbang, dia berhenti sebentar dan berbicara sangat pelan,

"Apakah aku boleh mengunjungimu lagi?"

Aku tak bisa menahan senyum mendengar pertanyaannya itu. Kuanggukan kepala.

Kulihat sinar bintang di kedua matanya.

.****.

Petang di hari Sabtu nampak cantik sekali. Membuatku enggan diganggu oleh dering telepon genggam. Kubiarkan saja sampai dering itu berhenti, tapi setelah berhenti, sesaat kemudian dering itu mengganggu lagi.

Siapa? Mataku memandang nomor tanpa nama yang muncul di layar telepon. Bukan Tigor, karena aku sudah menyimpan nomor teleponnya.

"Aku Mario, Kak..."

Otakku bekerja cepat, berusaha mengingat siapa Mario, di antara semua orang yang kukenal. Cuma ada satu, tapi dia bukan kawanku. Untuk apa dia meneleponku?

"Sudah lama kita tidak bertemu. Aku ingin tahu kabarmu."

Begitu? Tentu saja kita lama tidak bertemu. Bahkan selama-lamanya tidak akan bertemu lagi. Sebab tidak ada lagi alasan untuk itu.

Dia mencoba mengajakku bicara sampai lima menitan. Aku menjawab pendek-pendek. Akhirnya dia putus asa, lalu menyudahi teleponnya. Aku lega.

Sialnya. Besok siangnya, dia kembali meneleponku.

Aku bahkan belum sempat mengganti baju yang kupakai ke gereja. Ibuku sudah pulang ke kampung halaman. Jadi sekarang aku tinggal berdua lagi dengan adikku.

"Aku sedang sendirian di rumah, sepi sekali. Bolehkah kita bertemu?"

Aku terheran-heran mendengarnya.

"Mau menemaniku nonton film?"

Aneh sekali, ajakan itu ke luar dari mulutnya. Aku tak percaya. Tapi tak ada salahnya pergi bersamanya. Anggap saja sedang pergi dengan teman.

Kami bertemu di depan bioskop. Ada film komedi yang sedang diputar. Film itu memang luar biasa lucu. Aku tertawa sampai perutku terasa pegal, dan ke luar dari dalam gedung dengan perasaan puas.

"Mau makan dulu?" tanyanya. Aku menggeleng. Sekarang jam setengah delapan malam. Aku mau pulang saja.

Dia mengantarku pulang. Di depan rumah, kulihat sebuah motor diparkir. Di teras kudapati adikku sedang berbincang dengan seseorang. Aku salah tingkah.

"Hai, Tigor. Sudah lama? Kenalkan, ini Mario. Mario, ini Tigor."

Mereka bersalaman. Saling tersenyum, saling mengobrol. Entah cuma saling basa-basi, tapi percakapan mereka bertahan sampai satu jam lebih.

Selama itu, sebentar-sebentar Perutku terasa mulas.

.****.

"Pulang kerja, kujemput ya?" Mario kembali meneleponku.

Aku merasa semakin aneh. Orang ini, setahun lebih aku mengenalnya dan hanya dua kali kami pernah ngobrol sebentar. Tapi sekarang, belum lewat dua minggu, aku sudah tiga kali ditelepon olehnya.

"Wah, aku sudah ada janji dengan teman," elakku.

"Pendeta itu, ya?"

Sebenarnya bukan. Tapi aku jadi bingung dan heran. Sebab sejam setelah Mario meneleponku, Tigor ikut-ikutan menelepon. Ikut-ikutan menawarkan menjemputku sepulang kerja. Apakah setelah gagal menikah, tiba-tiba aku berubah menjadi lajang yang paling diinginkan?

Aku menolaknya juga.

Begitu ke luar dari pintu kantor, kudapati Mario berdiri di situ. Aku terperanjat.

"Sudah kukatakan kalau aku ada janji," kataku tak ramah. Sebenarnya aku gugup.

"Aku cuma mau menemanimu menunggu. Kalau dia sudah datang, aku pasti pulang," jawabnya ringan. Aku gelisah.

"Aku akan menunggu di halte."

"Kutemani kau ke sana."

Aku memandangnya putus asa. Orang ini...

"Baiklah, aku mengaku. Aku berbohong padamu."

Dia tersenyum kecil. "Aku tahu."

"Bukan berarti aku mau pulang denganmu," kataku cepat.

"Begitu, ya. Tidak apa-apa. Kau bisa naik bis. Aku akan mengikuti dari belakang."

Aku benar-benar putus asa. Bagaimana menghadapi orang ini?

"Apa sebenarnya maumu?" suaraku terdengar seperti teriakan kecil.

Dia kaget mendengarku. Tangannya berhenti mempermainkan kunci.

"Aku cuma ingin mengantarmu pulang."

"Mengapa kau ingin mengantarku pulang?" kejarku lagi.

"Karena aku ingin."

"Mengapa?"

"Karena aku peduli padamu."

"Mengapa peduli?"

Dia tak menjawab. Wajahnya memerah. Wajahku juga merah.

Entah bagaimana, akhirnya aku duduk juga di boncengan motornya.

.****.

INTAN YANG KUCARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang