Disarankan membaca sambil mendengarkan playlistku di Spotify agar lebih terbawa suasana. Aku nulis sambil dengerin playlist itu juga. Selamat membaca!
***
"Draco, kau kehujanan lagi?" kata Narcissa begitu putra semata wayangnya sampai di rumah dengan keadaan basah kuyup. "Kenapa payungmu tidak dipakai? Kenapa malah hujan-hujanan?"
Itu bukan pertama kalinya Draco pulang ke rumah seperti di siram air setangki sambil membawa payung, entah dibuka ataupun masih terlipat rapih. Namun jauh lebih sering terjadi yang opsi kedua.
"Draco boleh main hujan-hujanan. Kenapa aku tidak?" protes Sebastian yang rambutnya sedang dikeringkan oleh Lumps. Sepertinya ia baru saja kepergok sedang bermain hujan-hujanan sambil mengejar para merak dan disuruh mandi lagi. "Aku juga mau main hujan-hujanan."
"Kau tidak boleh...nanti sakit," kata Draco bergetar. Dia tidak bisa berbohong kalau kata-kata itu sebenarnya juga ditunjukkan untuk dirinya sendiri.
Lelaki itu melangkah masuk ke dalam rumah dan naik ke lantai atas, langsung menuju kamarnya, meninggalkan petak-petak sepatunya yang basah di lantai. Dia sedang tidak ingin peduli bagaimana ayah dan ibunya mengomel atau Sebastian yang protes karena dia masih balita ataupun Snape yang selalu berwajah kaku dan dingin. Dia hanya ingin sendirian untuk sementara waktu dan meminum ramuan penenang lagi, lalu tidur atau melakukan apapun itu yang membuatnya tidak berinteraksi pada seekor lalat sekalipun.
Dia membuka bajunya dengan kasar dan melemparkannya ke keranjang cucian setelah mengunci pintu kamarnya. Ia menyiram dirinya dengan air hangat dan tidak tahu kenapa dia mulai menangis lagi. Hari itu dia telah melihat wajah Heather yang tersenyum di koran dan hal itu membuat perasannya bertambah buruk. Seluruh raga dan jiwanya tersentak begitu tiba-tiba karena mengingat segala sentuhan dan memori tentang Heather dan itu membuatnya sakit. Kenyataan bahwa dia masih berharap sementara setiap hari melihat dengan jelas Heather hanya terbaring tak bergerak membuatnya tersiksa.
Draco keluar dari kamar mandi sejam kemudian setelah puas melampiaskan seluruh emosinya di sana. Dia melemparkan tubuhnya ke atas ranjang setelah berpakaian dan mengeringkan rambutnya. Dia melewatkan makan malam, rasanya tidak mau makan dan tidak bernafsu untuk menyentuh makanan. Bahkan ia menolak peri rumah membawakan makanan ke dalam kamarnya. Ia hanya meminum sebotol ramuan penenang yang selalu dibuatkan Snape kepada keluarga mereka setelah perang berakhir. Kedua orang tuanya telah berhenti, trauma mereka sudah membaik, sementara Draco masih tetap butuh meminumnya.
Lelaki itu melihat tangan kirinya. Tanda kegelapan miliknya yang pudar jauh lebih pudar lagi sejak Voldemort mati, menyisakan bekas luka tipis keabuan seperti petir milik Harry Potter yang terkenal. Dia yakin tanda pada tangan Heather juga sudah berubah seperti miliknya.
Dia menghembuskan napasnya kasar dan menjatuhkan lengan kirinya ke samping, memantul sedikit sekali di atas kasur. Ia tidak tahu kenapa segala macam hal di hidupnya bisa mengingatkannya akan Heather. Perempuan itu sudah masuk terlalu banyak dalam hidupnya. Bahkan mungkin Heather mengenal dirinya lebih baik daripada dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Memories Untold (After The Battle of Hogwarts)
Fanfic[PENDING] [Sequel/kelanjutan dari Born To Be Ready. Disarankan membaca Born To Be Ready lebih dulu agar dapat mengerti alurnya] Pertempuran berakhir, bukan berarti perjuangan hidup juga berakhir. Ketakutan, kepedihan, rasa sakit, duka, dan keputusas...