Disarankan membaca sambil mendengarkan playlistku di Spotify agar lebih terbawa suasana. Aku nulis sambil dengerin playlist itu juga. Selamat membaca!
***
Angin sepoi-sepoi membuat dedaunan hijau menari-nari pelan di atas pepohonan yang mengelilingi rumah besar tak terurus. Pagar tingginya berderit-derit tak menyenangkan saat burung-burung hinggap pada ujung-ujung yang melengkung tajam di atasnya.
Draco menghembuskan napasnya kasar dan segera masuk ke dalam rumah itu, menuju ke lantai atas dimana pintu-pintu kamar berjajar berhadap-hadapan di sepanjang koridor luas. Dia berhenti di depan sebuah pintu kamar bertuliskan nama Heather. Jantungnya berdebar hebat, seakan dia baru saja selamat dari maut. Dia tidak tahu apakah yang dilakukannya ini benar atau tidak. Yang dia tahu, dia hanya begitu merindukan sosok Heather yang hidup. Akhirnya, lelaki itu menyelubungi tubuhnya dengan jubah gaib dan masuk ke dalam kamar itu setelah berkali-kali mengambil napas panjang.
Ia memutar beberapa kali Pembalik Waktunya setelah menutup pintu. Rasa seperti tersedot dan melayang masuk ke dalam tubuhnya dan beberapa detik kemudian, ia merasakan kakinya menginjak lantai lagi.
Suasana berganti malam. Penerangannya remang-remang dengan hanya mengandalkan sebuah lampu meja, dan sinar yang paling jelas menyinari ruangan itu justru berasal dari cahaya bulan yang masuk lewat jendela besar bertirai putih tipis ke dalam kamar. Ciri khas utama kamar Heather, berjendela besar. Gadis itu senang sekali ketika di pagi atau sore hari cahaya matahari masuk ke dalam kamarnya.
Di atas tempat tidur, terdapat dua anak kecil yang Draco yakini sekali itu adalah dirinya dan Heather kecil. Dilihat dari sobekan kalender terakhir dan bertumpuknya kotak-kotak hadiah di atas meja, ia yakin mereka baru saja merayakan ulang tahun yang ketiga saat itu. Draco dan Heather kecil tidur berhadapan dan saling memeluk sesuatu yang selalu menjadi teman tidur mereka. Draco dengan boneka naganya dan Heather dengan boneka kelincinya. Boneka yang sama dengan yang Draco sembunyikan saat Heather akan pindah rumah, dengan harapan agar gadis itu tidak jadi pindah kalau bonekanya belum ketemu. Namun ternyata mereka malah bertengkar dan Heather tetap pindah.
Draco menahan napas begitu Heather kecil melenguh dan meregangkan badannya. Gadis itu duduk dan mengucek mata pelan, masih sambil memeluk bonekanya. Draco membeku di tempat ketika Heather memandang ke arahnya, tempat dimana dia berdiri. Matanya yang sayu mengerjap-ngerjap bingung dan menyipit. Namun sesaat kemudian gadis itu menangis, dan Draco kecil segera terbangun untuk memeluknya.
"Ada apa?" tanya Draco kecil, tampak mengantuk sekali, tapi tetap berusaha menenangkan Heather dengan menepuk-nepuk punggungnya. Sesekali dia menguap dan meregangkan badannya. "Kau bermimpi buruk atau melihat sesuatu?"
"Aku...takut..." kata Heather di sela tangisannya. "Ada...ular..."
Draco yang berada di balik jubah gaib menghembuskan napas kasar perlahan. Hatinya mencelos. Ia meyakini yang dilihat Heather saat itu bukan hanya sekedar ular sembarangan, melainkan Nagini, salah satu Horcrux Voldemort. Gadis itu tumbuh dengan baik sekali, masih bertahan walaupun penglihatan buruk terus berdatangan padanya. Ia tidak bisa membayangkan kalau dirinya berada di posisi Heather. Apakah ia akan bisa menghadapi itu semua?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Memories Untold (After The Battle of Hogwarts)
Fanfic[PENDING] [Sequel/kelanjutan dari Born To Be Ready. Disarankan membaca Born To Be Ready lebih dulu agar dapat mengerti alurnya] Pertempuran berakhir, bukan berarti perjuangan hidup juga berakhir. Ketakutan, kepedihan, rasa sakit, duka, dan keputusas...