Bel telah berbunyi siang itu, suara berisik terdengar kala jam pelajaran digantikan oleh istirahat pertama lima belas menit. Beberapa siswa terlihat tergesa-gesa keluar dari kelas, beberapa dari yang lain ada yang sudah berebut tempat duduk di kantin sekolah.
Semua orang suka waktu istirahat, tidak terkecuali dengan Salsa. Istirahat bukan hanya tentang makan saja tetapi tentang mengistirahatkan juga pikiran dari materi-materi pelajaran yang diberikan oleh guru. Bahkan bagi Salsa lebih dari itu, waktu istirahat adalah saat-saat di mana dirinya bisa merenung. Mungkin memikirkan nasibnya. Atau memikirkan bagaimana hubungannya dengan Resya bisa membaik lagi seperti dulu.
Namun, pemikiran-pemikiran itu mulai pudar seiring berjalannya waktu, Salsa mulai tidak percaya diri. Apa lagi setelah ucapan Resya terakhir kali yang mengatakan bahwa Salsa adalah pembawa sial untuknya, gadis itu mulai gelisah. Ia sadar telah membuat Resya juga kesulitan berbaur dengan yang lain. Resya juga ikut dikucilkan karena dulu pernah bersahabat dengan seorang gadis berjulukan pembunuh sepertinya.
Salsa mulai berpikir untuk berhenti mendekati Resya, demi kebaikan sahabatnya itu. Jika menjauh adalah hal terbaik untuk saat ini maka akan Salsa lakukan demi Resya. Baiklah jika dengan begitu Resya akan baik-baik saja.
"Mungkin gue emang pembawa sial," monolognya.
Salsa saat ini sedang duduk di pojokan kantin sendirian, tidak ada yang mau duduk bersebelahan dengannya. Tangan halus itu memutar-mutar sedotan di dalam minuman dingin di atas meja. Pandangan gadis itu tampak kosong menatap ke satu arah.
Kembali Salsa teringat akan ingatan lama. Bagaimana ia dan Resya bercanda dan tertawa di masa lalu. Hingga perjuangannya untuk mendapatkan maaf dari Resya. Sudah seharusnya kita berjuang untuk apa yang kita cintai dan sayangi, tetapi terkadang kita harus menemukan kekuatan untuk melepaskannya.
"Salsa!"
Sapaan lembut yang tak asing membuyarkan lamunan Salsa seketika. Zila, gadis yang pernah Salsa bantu dengan tulus untuk pertama kalinya selain Resya di Cakrawala.
"A-aku boleh duduk di sini?" tanya Zila sedikit ragu.
Salsa bergeser, mengosongkan ruang di sebelahnya. "Duduk aja," katanya.
Zila pun duduk di sebelah Salsa lalu menaruh makanan yang sudah dipesannya di atas meja.
"Kenapa lo mau duduk di sini?" tanya Salsa tiba-tiba.
Zila yang tak paham hanya menjawab seadanya. "Ya karena aku lihat tempat ini kosong, cuma ada kamu doang. Emang gak boleh, ya?" Zila sedikit merasa tidak enak. Hanya ada senyuman kaku di wajah lugunya.
"Ya, boleh. Tapi kenapa lo mau duduk deket gue?" Pertanyaan spontan itu Salsa lontarkan dengan tak ramah. "Maksud gue, kan, masih banyak tempat kosong, kenapa milih di samping gue?" ralatnya.
Zila tersenyum tulus. Setelah memperbaiki letak kaca matanya, ia menjawab pertanyaan Salsa dengan hati-hati. "Kamu gak buruk, Salsa. Aku mau temenan sama kamu," katanya lembut.
Ucapan Zila sudah cukup menjawab pertanyaan di benak Salsa. Ia mulai tertarik pada arah pembicaraan Zila. Tidak menyangka, ternyata masih ada orang yang menganggapnya tidak buruk. "Menurut lo gue ini orang baik?" tanya Salsa sambil menunjuk dirinya.
Zila mengangguk mengiyakan. Meskipun tidak terlalu yakin Salsa mencoba memercayainya.
"Kenapa lo bilang gue ini baik? Apa karena gue pernah bantu lo? Cuma karena itu doang?" Salsa mengerutkan keningnya penasaran.Zila tertegun. Tidak menyangka Salsa akan bertanya sedetail itu. Zila bukan tipe orang yang banyak bicara atau mengeluarkan pendapat. "Me-menurutku kamu memang baik. Emm, makan, yuk? Keburu bel masuk," ucap Zila mengalihkan pembicaraan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Innocent Girl (Salsa)
No FicciónTak disangka, gadis cantik dan kaya raya yang cukup populer di sekolah, hidupnya berubah setelah tuduhan pembunuhan ditujukan kepadanya. Kesalahan di masa lalu membuat dirinya merasa buruk dan mengalami masalah pada citra diri. Misteri dari tragedi...