Lembar 1

31.5K 1.7K 189
                                    

Gerimis mengisi senin pagi dengan sendu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gerimis mengisi senin pagi dengan sendu. Senin yang seharusnya terik, kini berubah dingin dan beku. Sama seperti dengan suasana rumah besar yang sudah Jenggala tinggali selama hampir dua tahun tahun itu.

Padahal, rumah ini dihuni oleh lima kepala, belum lagi beberapa asisten rumah tangga yang juga bekerja di sini. Namun tetap saja, tak ada hangat yang membuat Jenggala nyaman.

Ketika langkah kakinya baru saja menuruni tangga, beberapa sosok sudah duduk di meja makan dengan tenang. Dua laki-laki, dan satu perempuan.

"Pagi, Ma, Pa, Bang." sapa Jenggala seperti biasanya. Masih sama, seperti pagi-pagi sebelumnya, dan tentu dengan respon yang sama. Hanya ditanggapi dengan gumaman oleh mereka.

Tak masalah, Jenggala buru-buru menarik kursi kemudian bergabung bersama mereka. Baru saja tangannya hendak mengambil nasi, suara satu-satunya perempuan disana menghentikan tingkah Jenggala.

"Jangan makan duluan, tunggu adik kamu. Mungkin dia masih mandi." kata Dayita kepada sang putra.

Jenggala tertawa canggung, kemudian meletakkan kembali alat makannya. Sepuluh menit kemudian, sosok yang mereka tunggu datang. Seorang remaja yang sedikit lebih tinggi dari Jenggala.

"Pagi, sayang." Dayita menyapa si bungsu dengan hangat. Kendati demikian, Daksa justru melengos enggan menatap sang ibu. Melihat itu, Dayita menghela nafas panjang.

"Masih marah soal kemarin?" Kini sang kepala keluarga yang bertanya. Nuraga menatap Daksa lekat-lekat. Memperhatikan tingkah anak itu yang mengambil sarapannya dengan tergesa-gesa.

"Hm," Hanya itu jawaban yang Daksa berikan. Selebihnya, anak itu mulai fokus menyantap sarapannya. Mengabaikan tatapan orang-orang.

"Bukannya Papa nggak mau belikan kamu motor. Hanya saja, Papa khawatir kamu akan menyalahgunakan motor itu. Jangan kira Papa nggak tau, kamu sering ikut balapan liar, 'kan?"

Kini atensi Daksa teralihkan. Menatap Nuraga dengan tatapan kesal. Namun tak bisa mengelak, karena apa yang papanya ucapkan adalah kebenaran.

"Ck. Tapi, Pa, aku itu udah besar. Malu kalau harus berangkat sama Jenggala terus."

"Sa, yang sopan. Gue ini kakak lo." tegur Jenggala. Sudah muak sebenarnya dengan sikap adiknya. Tapi mau bagaimana lagi, tidak ada yang berani menegur Daksa kecuali dirinya.

"Apaan, sih, lo, gila hormat banget. Lagian kita cuma beda setahun doang." balas Daksa dengan sengit. Hubungan kedua saudara ini memang terbilang tidak baik.

"Bukan gila hormat, tapi gimana pun, gue ini kakak lo. Harus sopan sama yang lebih tua."

"Toh gue panggil lo kakak atau enggak, nggak akan ngaruh apa-apa. Udah, deh, jangan berisik!"

"Daksa—"

"Hentikan!!" Suara Dayita membuat ucapan Jenggala terpotong. "Sudah lah Jenggala, jangan mempermasalahkan hal yang tidak perlu. Jangan membuat keributan di pagi hari."

|✔| Kedua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang