Makan malam kali ini terasa sangat hening. Tidak ada satu pun dari kelima orang disana yang membuka suara. Malam ini, entah mengapa Jenggala merasa ada sesuatu yang berbeda.
Tatapan mama dan papanya tidak seperti biasanya. Malam ini terlihat lebih teduh serta pancaran mata mereka terasa hangat. Jenggala lantas melirik ke arah Sahmura dan Daksa. Keduanya hanya menunduk, sibuk dengan makanan mereka masing-masing.
Nuraga adalah orang pertama yang menyelesaikan makanannya. Lelaki itu berdehem pelan, yang mana membuat atensi keempat orang lainnya teralih.
Merasa sang kepala keluarga akan mengatakan sesuatu, mereka meletakkan alat makan masing-masing.
"Nggak pa-pa, dilanjut sambil makan. Papa hanya ingin bicara dengan Jenggala." kata Nuraga. Lantas, Dayita, Sahmura dan Daksa mengangguk. Kembali melanjutkan acara makan mereka yang sempat tertunda.
"Ada apa, Pa?" tanya Jenggala.
"Begini, Papa dan Mama berencana ingin mengirim kamu ke rumah nenek. Soalnya, nenek kamu selalu memaksa Papa agar pindah ke Jepang. Sedangkan Papa tidak bisa melakukan itu. Satu-satunya pilihan, adalah mengirim kamu ke sana. Sekalian kamu bisa merawat dan menemani nenek."
Jenggala menunduk dalam setelah mendengar semua ucapan dari papanya. Sedangkan Sahmura buru-buru mendongak. Menatap Jenggala dengan raut tak terbaca.
"Papa nggak mungkin mengirim Sahmura. Sebentar lagi dia lulus, dan Papa juga ingin mengajari Sahmura tentang bisnis. Sedangkan Daksa, itu lebih tidak mungkin. Dia tidak bisa jauh dari Mama kamu barang sejenak saja. Pilihan terakhir adalah kamu, Jenggala." lagi, Nuraga mengatakan semuanya tanpa beban. Tak memikirkan bagaimana perasaan Jenggala yang seolah merasa terbuang.
Sedangkan tak ada jawaban apa-apa yang Jenggala berikan. Anak itu sibuk menahan air mata yang hendak menetes deras. Baru saja dua tahun merasakan tinggal bersama, kini dirinya sudah harus pergi karena alasan konyol tersebut.
Papanya bahkan tidak bertanya lebih dulu. Semua kalimat yang papanya ucapkan adalah perintah mutlak yang tidak boleh dibantah. Apakah perasannya tidak sepenting itu?
"Pa, sebaiknya dengar dulu persetujuan dari Jenggala." Sahmura membuka suara. Tak tahan melihat bagaimana bahu tegang Jenggala yang menahan tangis. Sahmura tahu, anak itu diam karena tak ingin tangisannya pecah.
"Kita nggak ada pilihan lain, Bang. Jika kita semua harus pindah ke Jepang, bagaimana dengan perusahaan Papa kamu?" Dayita ikut bersuara.
"Kita jelaskan keadaan yang sebenarnya kepada Nenek. Aku yakin kok, Nenek pasti ngerti dan paham."
"Nenek kamu keras kepala, Bang. Jika sudah memiliki kemauan, susah diganggu gugat. Lagian, Nenek kamu itu lebih paham bisnis daripada kita." Nuraga menyahut.
"Tapi Pa—"
"Biarin aja, sih, Bang. Lagian keputusan Mama dan Papa udah tepat kok. Atau lo mau gantiin dia?" Karena sejak tadi hanya menjadi pengamat, akhirnya Daksa tak tahan dan membuka suaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
|✔| Kedua
Teen FictionKetika anak pertama merasa memiliki beban karena selalu di tuntut untuk menjadi yang terbaik, anak bungsu mengeluh karena merasa harus menuruti setiap perintah kakak-kakaknya. Namun di sisi lain, ada anak kedua yang kehadirannya sering kali dilupaka...