Baru saja Jenggala menapakkan kakinya ke lantai rumah yang dingin, suara bariton Nuraga membuatnya terpaku. Sosok tegap itu berdiri di ruang tengah, lengkap dengan wajah dingin dan tatapan tajam.
Di samping Nuraga, Daksa berdiri dengan kepala tertunduk. Tubuh menggigil Jenggala yang basah kuyup hanya berdiri di ambang pintu menatap bingung ke arah papanya.
"Bagus. Siapa yang memenangkan balapan?"
Pertanyaan Nuraga membuat Jenggala mengerutkan alis. Benar-benar tak mengerti dengan pertanyaan yang baru saja papanya lontarkan.
"Maksud Papa? Balapan?"
"Masih bertanya. Tadi Papa dapat laporan, motor kamu masuk bengkel. Pas Papa tanya Daksa, ternyata kamu ikut balapan liar bahkan menyuruh Daksa pulang sendirian. Keterlaluan kamu, Jenggala. Selama ini Papa fikir yang ikut balapan itu Daksa, ternyata kamu. Jadi kamu menggunakan nama Daksa sebagai tameng?"
Kini tatapan Jenggala beralih pada Daksa yang masih menunduk dalam. Mencoba menahan sesak, Jenggala menatap adiknya dengan pandangan penuh luka.
Tak menyangka jika Daksa akan berbuat sejauh ini untuk melindungi dirinya sendiri. Padahal semua yang papanya katakan salah. Ia sama sekali tidak pernah mengikuti balapan liar.
"Maafin aku, Pa." Bukannya melontar pembelaan, Jenggala justru meminta maaf dengan kepala tertunduk. Bukan apa, Jenggala hanya tengah menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca.
Terdengar helaan nafas panjang dari Nuraga. "Mulai sekarang, motor itu akan Papa berikan kepada Daksa. Selama berangkat dan pulang sekolah, silahkan kamu naik angkutan umum. Ini hukuman untuk kamu." ucap Nuraga telak, tanpa bantahan.
Dan Jenggala hanya bisa mengangguk tanpa membalas apa-apa. Lalu sosok Nuraga berjalan pergi dari sana. Meninggalkan kedua putranya yang hanya saling diam di tempat.
"Tolong jaga motor pemberian kakek dengan baik. Sekarang lo yang punya tanggung jawab buat jaga motor itu. Jangan salah gunakan kepercayaan Papa." Jenggala membuka suara. Berucap pada Sahmura tanpa menatap anak itu.
Lalu Jenggala berjalan ke arah dapur, lebih tepatnya ke arah kamar mandi yang berada di sana. Tubuhnya sudah kedinginan dan ingin segera beristirahat. Hari ini cukup lelah. Ngomong-ngomong, Jenggala baru sampai di rumah saat jam menunjuk angka tujuh.
Sedangkan Daksa hanya menatap kepergian Jenggala dalam diam. Tanpa ingin menjelaskan sesuatu, atau setidaknya meminta maaf kepada cowok itu.
Setelah sosok Jenggala menghilang, Daksa berlalu ke kamarnya dengan langkah tenang. Daksa berfikir, Jenggala itu kakaknya, jadi wajar bila cowok itu harus mengalah padanya.
Di dalam kamar mandi, Jenggala mengusap kasar kedua matanya yang tak henti meneteskan air mata. Sesak di dadanya kian menumpuk karena masalah yang baru saja terjadi. Padahal awalnya ia ingin mencoba kuat, tapi justru sebaliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
|✔| Kedua
Подростковая литератураKetika anak pertama merasa memiliki beban karena selalu di tuntut untuk menjadi yang terbaik, anak bungsu mengeluh karena merasa harus menuruti setiap perintah kakak-kakaknya. Namun di sisi lain, ada anak kedua yang kehadirannya sering kali dilupaka...