"Maaf Pak Nuraga, ada yang menunggu Bapak di depan."
Nuraga mengalihkan atensinya ke arah sang sekretaris yang baru saja berbicara. Sekilas, Nuraga melirik catatan kecil di samping laptop, lalu alisnya berkerut bingung.
"Siapa? Bukannya hari ini saya tidak memiliki jadwal pertemuan?"
Wanita yang berstatus sebagai sekretaris Nuraga itu mengangguk. "Benar, Pak. Tapi beliau mengatakan, beliau adalah teman lama Bapak. Beliau bernama Pak Andika."
Butuh beberapa detik bagi Nuraga untuk mencerna ucapan sekretarisnya. Kala nama itu disebut kembali setelah sekian tahun, ada ribuan paku yang seolah menancap di dadanya. Sakit, dan sesak.
Tangan Nuraga melambai, menunjukkan bahwa ia akan datang sebentar lagi ke sana. Ketika pintu kembali tertutup, Nuraga membuang napas kasar. Menatap pintu ruangannya dengan nanar.
Hampir sepuluh menit Nuraga mengulur waktu, yang pada akhirnya tetap membawanya ke luar dan menemui pria itu. Seorang pria dengan balutan jas sedang duduk di sofa ruang tunggu. Hanya dengan melihat punggungnya saja, tangan Nuraga mengepal erat.
Suara langkah kali menyentak si pria. Pria itu berbalik, bersitatap dengan iris gelap Nuraga. Ada senyum tipis yang pria itu berikan walau pun tak mendapat balasan serupa.
"Halo, Nuraga, lama tidak bertemu." sapanya.
Nuraga membuang muka. Enggan menatap wajah pria itu lama-lama. "Mau apa Anda datang ke sini?"
"Ingin mengambil apa yang seharusnya menjadi milik saya."
Tangan Nuraga semakin mengepal erat. Pria di depannya ini memang ayah kandung Jenggala. Mereka baru bertemu beberapa hari lalu, setelah Nuraga membuat keputusan malam itu bersama Dayita, Sahmura dan Daksa.
Pria itu datang dengan penampilan yang sangat berbeda. Dulu, pria itu hanya pengangguran dan pria brengsek yang selalu membuat ulah. Bermain wanita dan juga mabuk-mabukan. Namun, setelah sekian tahun, pria itu berubah menjadi seorang pengusaha sukses yang hampir setara dengannya.
Perubahan yang membuat Nuraga tercengang. Dari awal, Nuraga memang sudah menebak, jika Andika adalah pria yang menghamili adiknya. Hanya saja, tebakan itu tak pernah ia utarakan karena takut. Takut jika ekspetasinya menjadi nyata. Ia lebih tak sudi melihat adiknya menikah dengan pria bejat seperti Andika ini.
"Bagaimana kabar putraku?" tanya Andika yang masih duduk di tempatnya. Sedangkan Nuraga masih berdiri di sana.
"Jangan datang lagi."
"Apa yang Anda katakan? Anda ingin memisahkan saya dengan putra saya?"
"Dia bukan putra Anda!"
"Jelas, dia putra saya. Dia adalah anak Nana."
Rahang wajah Nuraga ikut mengeras. Pancaran tajam dari irisnya seperti leser yang siap melubangi Andika. "Hentikan omong kosong ini! Kemana saja Anda selama ini, hah?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
|✔| Kedua
Teen FictionKetika anak pertama merasa memiliki beban karena selalu di tuntut untuk menjadi yang terbaik, anak bungsu mengeluh karena merasa harus menuruti setiap perintah kakak-kakaknya. Namun di sisi lain, ada anak kedua yang kehadirannya sering kali dilupaka...