Di sebuah ruang yang tak terlalu besar itu, Jenggala berdiri di antara Sena dan Tama. Tangan Jenggala meremat tongkat yang mulai saat ini akan menjadi petunjuk jalannya.
Seperti merasa remasan kuat di dada, Jenggala merasa sesak kala mengingat kondisinya saat ini. Masa muda yang seharusnya ia nikmati dengan penuh warna, justru sebaliknya. Jenggala harus sadar, mulai saat ini, dunianya tak lagi sama.
Daksa bergerak gelisah di kursinya. Tubuhnya terikat, dengan kedua mata yang tertutup kain hitam.
Tama bergerak maju, melepas ikatan di kedua mata Daksa. Daksa berusaha mengerjap, lalu memfokuskan penglihatannya ke depan. Tepatnya kepada ketiga orang yang berdiri di depannya.
Seolah kelu, kini Daksa hanya mampu mengucap nama Jenggala dengan terbata-bata. Melihat penampilan Jenggala dari atas ke bawah, lalu fokus pada arah pandang Jenggala yang nampak kosong.
Setelah kejadian itu, Daksa berusaha lari. Berusaha untuk melupakan tindakan gilanya dengan pergi dari rumah. Namun siapa sangka, jika pria-pria itu justru menangkapnya.
"Bagaimana kabar orang hilang ini, Tam?" tanya Jenggala pada Tama. Nada suaranya dingin, penuh penekanan. Yang berhasil membuat Daksa menyadari sisi lain dari Jenggala.
"Sehat, tentu aja. Bahkan dia masih bisa main dan tertawa dengan bahagia. Atau, itu hanya akal-akalan dia untuk melupakan rasa bersalahnya?" Tama seolah masuk ke dalam permainan Jenggala. Bahkan Sena sempat menatap Tama tak percaya. Jujur saja, karena pendiamnya Tama, Sena tak tahu jika Tama memiliki sifat sarkas seperti ini.
"Beruntung sekali." Jenggala tersenyum. Kakinya melangkah ke depan, membuat Daksa bergerak gelisah seolah ingin lari. "Kenapa, Dek?" Merasa pergerakan dari Daksa, Jenggala menghentikan langkahnya.
"J-jangan ke sini! Pergi! Menjauh!"
"Lho, kenapa? Kamu nggak kangen sama Abang? Udah berapa lama kita nggak bertemu?" Raut wajah Jenggala berubah sedih. Hal itu justru membuat Daksa semakin ribut untuk melepaskan jeratan tali yang mengikat tubuhnya.
"Pergi!!"
"Jangan berteriak! Jangan berani lo teriak di depan muka gue!!" bentak Jenggala. Ekspresi wajahnya berubah dengan sangat cepat. Kini rahang wajah itu mengeras, seiring dengan kuatnya rematan tangan Jenggala di tongkatnya.
"L-lo—"
"Kenapa? Kaget? Kaget karena baru lihat sisi lain dari gue?!"
Daksa diam. Hanya terus bergerak, tak peduli jika tali itu sudah melukai kulit tangannya.
"Diem lo! Jangan bergerak!!"
Seperti sihir, ucapan Jenggala sontak membuat Daksa menghentikan gerakannya. Kini Daksa hanya mampu menatap Jenggala dengan napas memburu.
"Sudah melakukan pesta perayaan, Daksa? Selamat, rencana lo berhasil. Ini, 'kan, yang lo mau?" Jenggala tersenyum di akhir kalimat.
Diam. Masih sama seperti sebelumnya. Daksa seolah bertekuk lutut dengan aura yang Jenggala pancarkan. Mulutnya seolah enggan untuk terbuka.
KAMU SEDANG MEMBACA
|✔| Kedua
Teen FictionKetika anak pertama merasa memiliki beban karena selalu di tuntut untuk menjadi yang terbaik, anak bungsu mengeluh karena merasa harus menuruti setiap perintah kakak-kakaknya. Namun di sisi lain, ada anak kedua yang kehadirannya sering kali dilupaka...