Lembar 12

9.8K 1.1K 142
                                    

"Apa kabar? Udah hampir dua minggu kita nggak ketemu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Apa kabar? Udah hampir dua minggu kita nggak ketemu. Lo nggak kangen gue, Bang?"

Jika saja tidak berada di dalam kerumunan, mungkin saat ini Jenggala sudah memilih lari dari Daksa. Namun tak bisa, padatnya para murid-murid, membuat ruang lingkup sekitarnya menjadi sempit.

Jenggala tak bisa lari kemana pun, dan hanya bisa terus menatap Daksa dengan tatapan tajam. Sebenarnya jantungnya yang henti berdetak kencang sejak tadi, namun Jenggala berusaha menutupi semuanya.

Senyum yang Daksa berikan, membuat Jenggala semakin takut dan tak mampu lagi untuk menatap anak itu. Akhirnya, Jenggala membuang pandangannya ke depan.

Daksa tersembunyi tipis. "Kenapa nggak jawab? Lo masih marah, ya?"

"Pergi."

"Ha? Apa, Bang? Gue nggak denger?" Daksa mendekat, namun Jenggala reflek menggeser tubuhnya. Tindakan tersebut membuat Daksa tertawa remeh.

"Pergi."

"Oh? Lo suruh gue pergi? Kenapa? Lo nggak kangen sama gue, Bang?"

"Pergi."

"Santai, Bang. Ayo kita ngobrol dulu. Oh iya, gue juga mau kasih tau lo sesuatu. Bang Mura udah tau, kalau lo bukan anak kandung Mama dan Papa. Dan sikap dia barusan itu cuma pura-pura. Sebenernya dia itu sama kayak gue, sama-sama nggak bisa terima lo."

"Gue tau." Pandangan Jenggala menatap jauh ke depan. Ia tahu jika tindakan Sahmura tadi hanya pura-pura. Terbaca dari tatapan cowok itu saat melihatnya.

Akan tetapi, ia tidak peduli. Kini ia tidak peduli apa pun yang akan dilakukan oleh Sahmura dan Daksa. Tujuannya hanya satu, ia bertahan karena ingin bertemu dengan ayah kandungnya.

Karena mendiang kakek mengatakan, jika ayah kandungnya berada di Jakarta. Kakek juga sempat bertemu dengan lelaki itu beberapa kali.

Tepukan pada bahunya membuat Jenggala reflek menoleh. Kini jaraknya dengan Daksa terlalu dekat. Membuat atmosfer di sekitar mereka berubah dalam sekejap.

"Bang, kenapa masih bertahan? Apa yang mau lo cari? Walau pun lo sepupu gue, tapi gue nggak pernah sudi kasih sayang Mama dan Papa terbagi. Bang, pergi sendiri, atau gue yang akan buat lo pergi?"

"Kenapa lo sebenci itu sama gue?"

Bibir Daksa menyunggingkan senyum tipis. "Karena semua keluarga besar selalu muji-muji lo. Apalagi Nenek, beliau selalu aja banggain lo di depan gue. Gue muak. Lo tau?"

"Gue nggak pernah minta itu semua."

Senyuman Daksa semakin mengembang. "Iya. Seharusnya memang lo nggak pantes dapetin itu semua. Apalagi status lo yang terlahir karena sebuah tragedi. Gue jadi kasian sama mendiang Tante Nana."

"Udah?"

"Belum, sebelum gue bisa nyingkirin lo."

"Tenang aja, gue akan pergi, nanti, kalau udah saatnya."

|✔| Kedua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang