[ TWO ]

231 32 1
                                    

🏰👸🏻

Tak berbeda dari hari-hari biasanya, semua orang masih saja sibuk dengan segala aktifitas kerajaan. Terutama Jeffrey, sang pemimpin Aftokratoria. Salah satu tugasnya sebagai seorang Elder adalah membantu rakyat menyelesaikan masalah yang terjadi di desa. Tak lama setelah dirinya diangkat menjadi Elder, Jeffrey memberikan kesempatan bagi para rakyat untuk datang ke istana, meminta bantuan Jeffrey secara langsung. Dia tidak ingin membuat tembok yang terlalu tinggi antara istana dan rakyat Aftokratoria. Maka dari itu dibuatlah pertemuan publik ini, yang tentu saja disambut baik oleh seluruh rakyat terutama mereka yang dari kalangan biasa.

Macario menatap lurus ke luar jendela, mempelajari sejarah kepemimpinan Jeffrey di tengah panasnya cuaca membuat dia mudah lelah. Mungkin jalan-jalan sebentar sembari meregangkan badan adalah pilihan yang tepat baginya untuk saat ini. Dia pun meninggalkan kursi kebangsaannya dan mulai berjalan keluar dari ruang belajar, mengitari lorong istana yang begitu luas nan tinggi hingga sampai ke sebuah lorong terbuka melewati lapangan dimana para prajurit berlatih. Disanalah Jedrej berada, memantau serta menginstruksi para prajurit yang patuh pada perintahnya. Tak ada yang berbeda, pelatihan tetap berjalan sebagaimana mestinya, hanya mungkin terlihat lebih banyak peluh bercucuran di wajah mereka yang sedang berlatih di bawah cuaca panas. Terlihat jelas di pakaian Jedrej yang basah mencetak lekuk tubuh berototnya, belum lagi kening serta leher sang pemimpin yang terlihat mengkilap akibat keringat. Meskipun selalu berlatih di bawah sinar matahari, kulit putih Jedrej tak pernah sedikit pun menggelap, dia tetap bersinar, menunjukan identitasnya sebagai keturunan Elder dan Luna. Bagi mereka yang berdarah istana, bukan hanya kulit putih bersih saja yang mereka miliki, namun juga kulit pucat yang memancarkan sinar gemerlap ketika terkena cahaya matahari.

Menyadari ada seseorang yang memperhatikan dari kejauhan, Jedrej mengalihkan pandangannya dan menangkap sosok sang kakak tengah berdiri tegap di atas sana. Macario melemparkan senyum tipis pada Jedrej yang tentu saja dibalas senyum tipis pula oleh sang adik. Jikalau saja mereka sedang tidak berada di tengah publik, sudah pasti Jedrej akan melambaikan tangan dengan penuh semangat sembari tersenyum hangat ciri khasnya yang membuat kedua mata pemuda itu membentuk bulan sabit. Tapi begitulah Jedrej, dia adalah sosok pemimpin dingin, tegas, dan berwibawa. Bukan untuk menjaga citranya, Jedrej hanya ingin memisahkan kehidupan kerajaan dan dirinya yang asli agar dia bisa lebih fokus serta serius dalam menjalani kewajibannya. Menurut Jedrej, seorang pemimpin tidak boleh lengah, dan sesuatu yang emosional adalah kelemahan yang paling besar dampaknya. Maka dari itu, Jedrej tak ingin menunjukan perasaannya sedikit pun di hadapan publik dan menjadi celah bagi musuh untuk menyerang.

Seorang komandan lapangan sadar sang pemimpin tengah mengalihkan atensinya dari para prajurit. Mengikuti arah pandang Jedrej dan mendapati putra mahkota sedang memperhatikan, teriakan lantang pun terdengar hingga ke tempat Macario berada.

"SALAM HORMAT PADA CAHAYA AFTOKRATORIA YANG MULIA PUTRA MAHKOTA!"

Secara serentak semua orang menghentikan akifitas mereka, segera memutar tubuh menghadap Macario dan mulai berlutut. Tak terkecuali Jedrej, dia pun memberi sapaan hormat pada sang kakak dengan sedikit membungkukan tubuhnya. Macario tersenyum, mengangkat tangan kanannya sebagai balasan hormat para prajurit. Sang putra mahkota pun tak lupa memberikan gestur isyarat agar prajurit kembali melanjutkan latihan mereka tanpa perlu mengkhawatirkan eksistensi dirinya.

Pemandangan yang sekarang Macario lihat selalu berhasil membuatnya merasa bangga pada sang adik. Sisi lain dari Jedrej berhasil membuat Macario memancarkan pandangan terkagum-kagum. Bagaimana sang adik kecil yang selalu merengek meminta ditemani bermain ketika dirinya tengah belajar, kini menjadi sosok yang sedang memerintah ratusan prajurit dengan tegas. Sosok yang disegani hingga ditakuti banyak orang, sosok yang katanya berdarah dingin di medan perang. Semakin ingatan Macario memutar ulang perkembangan sang adik, semakin tak bisa dia menahan senyumnya. Sadar akan hal itu membuat putra mahkota pun mengambil langkah untuk meninggalkan lorong dan kembali berjalan menelusuri istana. Dia tak ingin mengganggu Jedrej.

The Shining Star, TheaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang