[ EIGHTEEN ]

111 18 0
                                    

🏰👸🏻

Suasana istana Aftokratoria kini sudah mulai kembali tenang. Macario dan juga Thea memutuskan untuk menemani Jedrej yang tak kunjung bersuara dan terlihat murung setelah keluar dari ruang kerja Jeffrey. Sedangkan Jidzik dan Dereck memilih untuk berdiskusi dengan Jeffrey terlebih setelah apa yang sudah dia lakukan pada Putra Keduanya. "Aku tau ego-mu tak menerima bahwa Sang Dewi memilih Jedrej sebagai Elder." Ucap Jidzik dengan rahang yang mengeras, menahan marah serta rasa kecewa. "Tapi kau terlalu egois seakan kau membandingkan kedua putramu ketika Macario saja tidak keberatan jika posisinya digantikan sang adik." Lanjut sosok tinggi besar tersebut namun dia yang ditanya masih juga terdiam, menatap dingin ke arah meja kerjanya yang terbelah.

"Apa yang sebenarnya kau khawatirkan?" Tanya Dereck yang mulai tak sabar akan keheningan di antara mereka bertiga. "Kau tau kau bisa berdiskusi dengan kami berdua." Tegas sang tangan kanan raja yang mengetahui bahwa Jeffrey tengah menyembunyikan kegundahannya.

Beberapa saat berlalu dalam keheningan, Jeffrey masih juga mematung hingga akhirnya dia bersua. "Aku hanya kecewa pada diriku sendiri." Rahang Jidzik yang mengeras serta alis Dereck yang mengerut kini perlahan memudar setelah mendengar kalimat yang dilontarkan Jeffrey. Kalimat yang terdengar tidak memiliki rasa percaya diri dan juga sedikit lemah, tak mencerimkan pungguh kokoh yang sedang mereka lihat. "Aku terlalu fokus pada anak pertama dan ketiga ku hingga tak sadar bahwa Jedrej tumbuh dengan baik secara mandiri." Lanjutnya parau.

"Rasa kecewa pada diriku sendiri berubah menjadi kekhawatiran jika Jedrej tak bisa menerima beban besar seorang pemimpin secara tiba-tiba. Namun pada akhirnya, perasaan ini hanya melukai putraku semakin dalam. Membuatnya merasa tidak dipercaya. Dan berujung pada rasa amarah yang menyinggung ego-ku sebagai ayahnya dan juga seorang raja."

"Aku menepis semua kecurigaan akan tanda yang sudah menamparku dengan jelas. Berusaha tak menghiraukannya alih-alih melindungi Jedrej dari limpahan tanggung jawab yang selama ini aku bebankan pada Macario. Lagi-lagi jalan yang aku ambil hanya memperburuk keadaan. Aku gagal menjadi seorang raja. Aku gagal menjadi sesosok ayah bagi ketiga anakku, terutama bagi Jedrej."

Hening.

Selama ini tak ada yang berusaha memahami isi hati sang pemimpin Aftokratoria. Selama ini tak ada yang mengajarkan sang Elder untuk menjadi sosok pemimpin kerajaan dan keluarga secara bersamaan. Dia yang harus melewati semuanya sendiri setelah sepeninggal sang kekasih hati, terlalu pandai menutupi luka dalam dirinya.

Dereck melangkah mendekati tubuh besar sang pemimpin dan menepuk bahu kanan Jeffrey dengan pelan. "Kau tak sendiri. Sebelum semuanya terlambat. Ambil kembali hati putramu dan putuskan kembali siapa yang akan menjadi penggantimu kelak." Ujarnya tenang agar tak ada satu patah kata yang menyinggung sang pemimpin. Tak lama, Jidzik sudah berdiri tteoat di samping kanan Jeffrey. "Jangan lupa bahwa kau berhutang rasa percaya pada Jedrej. Dia hanya membutuhkan itu dari ayahnya." Ucap Jidzik yang tersenyum hangat menatap ke arah Jeffrey.

Di sisi lain istana. Jedrej tengah tertidur pulas dengan kepala yang dia tarus di atas paha sang Kakak, Macario. Beginilah jika Jedrej sedang dalam suasana hati yang tidak baik. Sudah menjadi kebiasaan jika adiknya yang satu ini meminta untuk ditemani sembari tidur dalam posisi seperti sekarang. Tentu saja Macario tak diperbolehkan berhenti mengusap rambut pangeran kedua tersebut hingga dia berhasil terlelap. Sudah cukup lama keheningan menjadi teman setia di antara 3 (tiga) sosok yang berada di dalam kamar tidur Jedrej, berkumpul di atas kasur luas milik sang pangeran hingga Thea memutuskan untuk merangkak perlahan mendekati kepala Jedrej. "Sepertinya Kakak sudah jauh lebih tenang." Ucap Thea sembari menyentuh kening Jedrej.

"Apa ada yang ingin kau bicarakan padaku Putri?"

Pertanyaan Macario berhasil membuat Thea mendongakan kepalanya, yang tadi sedang menatap Jedrej kini dia pun menatap kakak pertamanya. Thea segera mengambil posisi duduk di samping Jedrej, "aku pun masih tak mengerti apa yang baru saja kulihat Kak." Ujarnya sedikit berbisik. "Ini kali pertama aku melihat hal tersebut."

"Tidak.." potong Macario, "ini adalah kejadian yang kedua kalinya." Jawaban Macario membuat Thea menatap bingung namun dibalas senyum hangat oleh sang Kakak. "Kau sudah memperlihatkan sesuatu padaku saat kita selesai melakukan pelatihan fisik beberapa saat lalu. Sepertinya kau tak sadar dan aku pun secara tak sadar membaca pikiranmu." Jelas Macario. "Pada awalnya aku pun tak mengerti dengan apa yang baru saja kulihat. Namun setelah kejadian hari ini, sepertinya aku paham."

Masih tak mengerti maksud Macario, Thea tetap menatap tanya pada mata sang Kakak hingga Macario mengusak lembut puncak kepala Thea. "Kau bisa membaca masa depan."

Mata Thea terbelalak, terkejut dengan apa yang diucapkan Macario padanya. "Tapi bahkan Daddy pun tak memiliki kemampuan seperti itu. Bagaimana bisa? Aku? Jangan bercanda Kak." Tepis Thea yang juga tertawa hambar. "Tak apa jika kau belum mau percaya padaku, tapi kau tau kan sosok seperti apa kakak tetua-mu ini?" Tanya Macario sembari tersenyum jahil. "Aku adalah orang paling cerdas dan berilmu di kerajaan ini, jangan kau ragukan intuisiku duhai adik manis." Tawa renyah menutup kalimat Macario yang tentu saja dibalas cibiran gemas oleh Thea.

"Lalu apa yang akan kita lakukan? Kakak lihat kan apa yang baru saja aku lihat? Jika memang itu adalah bayangan dari masa depan, bagaimana bisa kita hanya berdiam diri seperti ini?" Thea berkata dengan nada khawatir di setiap katanya. Mengingat kembali apa yang baru saja dia lihat membuat tubuhnya pun kembali bergidik ngeri. Terlebih tatapan dingin Jedrej yang sungguh mematikan seperti siap menyantapnya, oh tidak. Thea menatap sang kakak kedua tanv terlelap begitu tenang. Tak mungkin Jedrej akan menyakitinya bukan?

Sadar bahwa Thea merasa ketakutan, Macario meraih tangan kanan Thea dan menggenggamnya erat. "Kau tak perlu khawatir. Kakak Kedua bukan orang yang suka mengingkari ucapannya. Dia sudah berjanji akan menjagamu, begitu pula aku, jadi, kami tidak akan menyakitimu apapun yang terjadi."

Tenang rasanya mendengar kalimat yang dilantunkan Macario. Mata Thea pun terpejam, menggenggam hangatnya genggaman sang Kakak dan mulai meyakinkan diri bahwa dia akan terus mempercayai kedua kakaknya tersebut. "Setelah ini aku akan berbicara pada Daddy tentang kemampuanmu. Kau tak perlu khawatirkan apa-apa." Macario menarik lembut tubuh Thea agar mendekat dan mengecup kening adik perempuannya. Kini posisi mereka sudah cukup nyaman untuk berbagi kehangatan antara saudara setelah pertikaian sengit yang baru saja mereka lewati. Mendapati kedua adiknya sudah terlelap di dalam pelukannya, Macario menatap langit-lamgit kamar, berjanji dalam hati bahwa dia akan melindungi kedua adik yang sangat dia cintai ini.

🏰👸🏻

The Shining Star, TheaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang