25. s u p p o r t

11 2 0
                                    


14 hari menuju sidang. Mark berjanji akan menemaniku di rumah. Tidak, aku tidak minta. Hanya saja dia bersikeras untuk menemaniku mempersiapkan sidang. Padahal aku tahu maksud sebenarnya adalah satu. Menghemat biaya makan dan makan semangka gratis.

"Gimana, apa kata dosbing-mu?" ucap Mark. Ini sudah ke-7 kalinya Mark menanyakan respon dosen pembimbingku sejak aku mengirimkan skripsiku kemarin sore.

Aku menggeleng. Mark menghembuskan napas, "Sabar, Jung. Mungkin masih sibuk." Mark menenangkanku. Padahal aku yang akan melaksanakan sidang 14 hari lagi, namun Mark adalah orang yang sedari tadi uring-uringan di sofa menunggu dosenku merespon skripsiku.

Aku menyandarkan kepalaku ke sofa. Aku sengaja duduk di bawah agar aku bisa menatap layar laptop yang kuletakkan di atas meja. Kepalaku rasanya mulai berdenyut karena sedari tadi terus menerus menatap layar laptop untuk ikut memeriksa apakah ada hal yang kurang dari skripsiku.

Mark membantuku untuk memijat kedua sisi kepalaku yang terasa nyeri. Lagi-lagi aku tak meminta, bahkan Mark pun mungkin tak tahu aku sedang sakit kepala.

"Kamu sakit kepala ya," ucap Mark memijat kepalaku perlahan.

Baik, ralat. Mark tahu aku sakit kepala.

Aku membuka mataku yang sempat terpejam, "Kok kamu tau?"

"Nih, urat kepalamu sampe muncul gini. Matiin dulu aja laptopnya," ucap Mark.

Aku menuruti perkataan Mark. Ada benarnya juga, pancaran radiasi memang terkadang membuat mataku sakit juga seringkali membuat kepalaku nyeri. Huft, nasib mahasiswa semester akhir.

"Jadi gini rasanya jadi Doyoung-hyung,"  gumam Mark.

"Hah?" ucapku mendengar perkataan Mark yang tidak terlalu jelas di telingaku.

"Enggak, udah kamu tidur aja gak apa," ucap Mark terus memijit kepalaku. Jujur, pijatan Mark benar-benar membantu mengurangi rasa nyeri di kepalaku.

"Pacarmu beruntung banget sih," ucapku spontan.

Aku dapat merasakan pijatan Mark sempat berhenti sejenak saat aku melontarkan ucapanku, "Maksudnya?" ucap Mark.

"Ya aku gak tau entah di luar sana kamu udah punya pacar atau belum, ataupun pacarmu di masa depan, she must be so lucky to have a boyfriend like you," ucapku, "tapi agak gak mungkin sih kamu udah punya pacar. Reaksi pacarmu gimana coba kalau tau kamu sering nginep di rumahku," pikirku lagi.

Mark terkekeh, "Maybe it's me who's lucky to have her, aku biasa aja. Justru aku yang beruntung punya pacar kayak dia di masa depan," ucap Mark.

Aku mengangkat alisku setuju, "But do you have a crush on someone? I mean like you guys are idol. Pasti ada dong idol cewek yang attractive di mata kalian," tanyaku.

Mark sedikit berpikir, "Kuakui memang banyak banget sih idol cewek yang menarik. Tapi ya menariknya cuma sebatas, "oke, dia menarik," dan selesai sampai disitu. Kecuali kalau memang ada yang udah punya crush dari sebelum interaksi, mungkin berlanjut? I don't know," ucap Mark.

"Tapi kamu gak pernah sama sekali tuh ngomongin perempuan di depanku. Kamu masih suka perempuan kan?" ucapku asal.

Mark meraup wajahku sampai wajahku tertutupi tangan lebarnya, "YA MASIH LAH!" ucapnya.

"Hehe, kan mana tau. Lagian kamu bener-bener gak keliatan kayak suka sama orang tau. Kamu tipe yang baik ke semua orang sih," ucapku.

Mark tersenyum simpul tanpa kuketahui. 

"How can I, you never noticing it." batinnya dalam hati.

******

Aku terbangun saat mendengar ada notifikasi masuk dari ponselku. Kutatap Mark yang duduk di atas sofa, ia turut tertidur dengan kepala yang bersandar pada bantal.

Aku membuka notifikasi tersebut, terlihat pesan paling atas adalah kontak dosen pembimbingku.

"JESUS CHRIST! THANK GOD!" 

Aku berseru histeris seraya melompat. Mark yang terbangun karena seruanku mengusap wajahnya bingung.

"SKRIPSIKU GAK ADA REVISI!" 

Mark yang tadinya memasang wajah mengantuk langsung mengubah raut wajahnya.

"FOR REAL?" serunya bersemangat.

Aku mengangguk mantap. Mark tersenyum lebar dan memelukku erat seraya mengacak rambutku.

"I KNEW IT! WOHOO!" Mark berseru senang. Kami berdua melompat-lompat seraya berpelukan seperti orang gila. Tapi tak apa karena hal ini membanggakan.

"I'm so proud of you, congrats, Jung!" Mark menatapku sejenak, kemudian kembali memelukku.

Aku rasanya ingin menempel ke plafon rumah. Perjuanganku menunggu balasan dosen tak sia-sia. Skripsi tanpa revisi yang selama ini kuidamkan akhirnya terwujud. Sekarang perjuangan terakhirku adalah sidang.

"Wait, ada pesan masuk lagi," ucapku.

Mark mengernyit. Kami melepas pelukan 'teletubbies' kami dan aku membuka chatroom-ku dengan dosenku.

"Mark," ucapku menggantung kalimatku.

"Ya?" Mark ikut berdebar menunggu kalimat selanjutnya yang akan kulontarkan.

"Sidangnya maju jadi 10 hari lagi. Persiapanku sisa 3 hari untuk intensif, 7 hari sisanya aku bener-bener harus fokus untuk sidang," ucapku sedikit syok.

Mark menganga, "Is that good? aku gak pernah kuliah soalnya," tanya Mark bingung.

Aku meremas ponselku setelah mengucapkan terima kasih pada dosenku, "It is good actually," ucapku, "but I'm not sure it is enough for me to prepared all of the things," lanjutku.

"Pasti cukup, I trust you," ucap Mark menyemangati.

Aku tersenyum lalu kembali mendekap ponselku erat-erat karena bahagia. 

"Thank you for all your support," ucapku tersenyum. Sekarang perasaanku bercampur aduk, antara senang kelulusan di depan mata, ataupun khawatir akan sidang yang akan segera datang.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

waiting for chap #26...



Celebrity ; Mark Lee✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang