Chika memegang benda pipih di tangannya. Sedari tadi Chika ragu untuk menghubungi untuk menghubungi Fian. Chika tidak tau apakah Fian mau mengangkat teleponnya atau tidak.
Dengan meneguhkan hatinya demi Lea akhirnya Chika memutuskan untuk menghubungi Fian sebelum Lea terbangun.
Sudah ke empat kalinya panggilan Chika di tolak oleh Fian. Chika menangis dalam diam, ia tidak tau lagi harus berbuat apa. Pikiran Chika terbagi-bagi saat ini. Chika sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk berfikir.
Chika pun memutuskan untuk mengirimkan pesan saja untuk Fian dengan harapan Fian mau membalasnya.
Anggara Lutfian Sanjaya
Fian ke rumah sakit sekarang! Lea lagi gak baik-baik aja. Lea melakukan percobaan bunuh diri lagi|
|Jangan bercanda!!
Please Fian|
|Share alamat RS
Rumah sakit **************|
Chika sedikit tenang ketika Fian mau ke rumah sakit saat itu juga. Tapi ada sedikit khawatir di hatinya karena bisa Chika pastikan bahwa Fian akan marah besar pada keluarganya.
Chika harus menyiapkan diri untuk mendengar semua sumpah serapan yang akan Fian katakan padanya. Ia harus menerima segala konsekwensinya. Karena memang kenyataannya keluarganya tidak ada yang berhasil menjaga Lea adik kesayangan dari Anggara Lutfian Sanjaya.
Chika terus menunggu Fian sampai datang. Setelah kurang lebih 45 menit akhirnya Fian datang dengan wajah memerah menahan emosinya.
"Dimana?" Tanya Fian to the point.
"Lea di dalam, Fian maaf" ucap Chika merasa bersalah.
"Keluarga Lo semua itu gak ada yang becus jaga adik gue. Kalau aja adik gue mau tinggal bareng gue dan gak keras kepala mau meluluhkan hati ibu Lo yang nyatanya gak punya hati itu pasti semua ini gak akan pernah terjadi" ujar Fian yang muak dengan semua yang terjadi pada Lea. Mau sampai kapan adiknya itu akan terus menanggung derita. Fian sama sekali sudah tidak sanggup melihat keadaan adiknya itu.
"Kamu boleh hina aku nanti tapi sekarang aku mohon masuk dan tungguin Lea sampai bangun. Tadi dokter bilang yang biasanya bisa menenangkan Lea itu cuma kamu" mohon Chika dengan suara gemetar menahan tangis.
Bagaimana tidak sedih ketika melihat adik semata wayangnya itu terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan dua tusukan jarum di kedua tangannya. Fian dan Chika sama-sama terluka ketika melihat Lea harus terbaring lebih di atas ranjang.
Fian memasuki kamar inap milik Lea dan langsung di suguhkan dengan wajah-wajah tegang milik Anton dan Livia. Fian yakin jika Anton dan Livia pastinya baru saja bertengkar.
"Fian, kasih tau Om apa alasan kamu menyembunyikan penyakit mental dari kita semua?" Tanya Anton melembutkan intonasi suaranya.
Masih dengan wajah dinginnya Fian menatap satu persatu orang yang ada di ruangan itu namun tatapan Fian jatuh pada Livia. Fian menatap Livia dengan sangar dan mengerikan bagaikan seekor singa yang siap menerkam mangsanya.
"Seharusnya Anda dan keluarga Anda lebih tau mengenai Lea bukan. Dia tinggal bersama Anda lalu kenapa Anda tidak tahu menahu mengenai Lea? Bukankah itu artinya Anda dan keluarga Anda gagal menjadi rumah kembali bagi Lea. Dan istri Anda yang sedang Lea perjuangan kepercayaannya, apakah dia akan berubah ketika Lea mengatakannya dan tidak lagi menganggap Lea berbohong?" Tanya Fian memutar balikkan ucapan keadaan.
Tadinya Fian yang merasa terintimidasi oleh pertanyaan Anton. Namun tak kehilangan akal Fian memutar segalanya dengan membeberkan fakta-fakta yang tidak mungkin bisa di putar balikkan oleh siapapun.
Livia yang masih terus di tatap dengan tidak ramah oleh Fian pun diam-diam merasa terintimidasi. Sebelumnya Fian sama sekali tidak pernah mau menatapnya dan sekalinya menatap, Fian malah memberikan tatapan membunuh seperti itu.
"Abang...." Panggil Lea mengigau.
Semua mata langsung tertuju pada Lea yang nyatanya masih menutup matanya rapat. Walaupun Lea menutup matanya rapat, air mata Lea keluar seperti menahan gejolak sakit di hatinya yang tidak pernah mereda.
Melihat Lea yang seperti itu membuat semua orang yang ada di sana ikut terkikis hatinya tanpa terkecuali Livia. Sedalam apapun Livia membenci Lea, Livia tetaplah seorang ibu yang memiliki ikatan batin dengan putrinya.
Gagal? Tentu saja Livia merasakannya tapi karena keegoisannya masih berada di garda terdepan dalam dirinya membuat ia gelap mata untuk melihat penderita Lea.
"Sayang, Abang di sini. Lo cepet bangun biar Lo bisa liat gue di sini" pinta Fian pilu.
Sudah berkali-kali Fian melihat adiknya yang serapuh ini. Dan sudah berkali-kali juga Fian melihat jarum infus terpasang pada tubuh adiknya itu.
"Bangun ya Lea. Lo pernah janji sama gue kalau Lo bakal lawan semuanya. Lo janji sama gue bakal sembuh dan kita rajut cerita kita sampai di titik bahagia kita gak mampu berhenti. Lo pernah bilang sama gue kan kalo Lo mau menangin pertarungan kehidupan ini. Sekarang bangun dan Lo menangin pertandingan ini. Lo harus memenangkan hati Mama sama Papa, percaya sama gue kalo lambat laun mereka bakal sadar kalo Lo yang paling mereka butuhkan. Sekarang bangun ya" cerocos Fian lembut. Fian melakukan semua itu seolah-olah Lea mendengar semua ucapannya.
Fian terus menggenggam erat tangan Lea yang masih tertancap selang infus seraya mengelus lembut kepala sang adik. Fian sebenarnya sama seperti Chika, takut jika melihat wajah damai Lea ketika menutup matanya. Fian takut jika Lea tidak akan kembali lagi mengingat Lea memiliki penyakit kangker hati stadium lanjut.
Anton yang melihat ketulusan Fian membuat hatinya terenyuh. Bagaimana tidak? Fian yang dulunya begitu membenci Lea kini menjadi orang yang selalu berada di sisi Lea. Bahkan mampu menjadi tempat bersandar bagi Lea. Tempat Lea berpulang untuk mengadukan segala keluh kesahnya.
"Om mau lapor ke dokter Farah dulu, Om titip Lea. Hubungi Ayah ya kalo Lea bangun" pamit Anton pada Fian dan Chika.
"Laporan keadaan Lea pastinya akan masuk ke email saya. Saya akan mengirimkannya kepada Anda nanti" ucap Fian tanpa mengalihkan tatapannya dari Lea.
Anton pun hanya mengangguk mengerti lalu pergi meninggalkan ruangan Lea. Livia yang merasa sedikit tidak nyaman pun akhirnya menyusul Anton keluar dari ruangan Lea.
Kini tinggallah Lea, Fian, dan Chika yang berada di ruangan itu. Chika duduk tepat di sisi kiri Lea sedangkan Fian duduk di sebelah kanan tubuh Lea.
Chika dan Fian sama-sama diam menatap pilu ke arah Lea. Sama sekali tidak ada yang memulai pembicaraan di antara mereka sehingga keheningan menyelimuti mereka. Fian yang pikirannya melayang memikirkan keadaan Lea yang akan semakin memburuk jika kondisi mental Lea tidak stabil. Sedangkan Chika yang terus saja meratapi kegagahannya sebagai seorang kakak untuk Lea. Mereka sama-sama terluka dengan cara mereka masing-masing. Memiliki tirai luka yang di deritanya masing-masing. Tirai luka yang akan selalu menyertai mereka saat kedua belah pihak keluarga tidak ada yang mampu menerima Lea menjadi bagian dari masing-masing keluarga.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIRAI LUKA
Teen FictionMenjadi anak yang terlahir dari hubungan gelap, jelas saja Analea Natasha Brasmoro atau yang di kenal dengan Lea tidak Sudi menerimanya. Namun apalah dayanya itulah takdir kehidupannya. Banyak orang yang tidak pernah tahu bahwa dirinya adalah putri...