Dua Puluh

7 1 0
                                    

Curhat sedikit deh ya 😅😅
Aku gak tau kalo aku bisa menyelesaikan ceritaku sampai dua puluh bab. Aku punya rasa bahagia tersendiri karena aku bisa menuangkan semua pemikiran aku lewat cerita ini. Pokoknya kalian suport system terbaik untuk ceritaku ini. Makasih banyak 🤗🤗🤗





Fian dan Chika masih terus menemani Lea yang belum juga sadar dari mimpinya itu. Fian dan Chika bahkan di selimuti keheningan selama menjaga Lea.

Mata sayu milik Lea perlahan terbuka. Penglihatan Lea bahkan masih sangat buram. Tubuhnya terasa lemas dan tak bertenaga. Lea menatap langit-langit ruangan yang bernuansa putih. Merasa berada di tempat asing Lea pun beralih menatap ke arah kanan kirinya dan mendapati kedua saudaranya yang terus menunduk lesu.

"Abang.." panggil Lea lemah.

Fian dan Chika pun spontan mengangkat kepalanya menatap sang adik yang baru saja mengeluarkan suara lemahnya.

"Lo udah bangun?" Tanya Fian antusias. Ia tidak bisa menahan rasa bahagianya ketika melihat adiknya sadar dari tidur panjangnya.

"Kamu udah bangun Le?" Tanya Chika yang tak kalah antusias. Bagaimana tidak, Chika sudah sangat ketakutan ketika terus saja menatap mata adiknya tertutup rapat dan kini ia mendapatkan harapan besar ketika melihat mata indah milik adiknya terbuka lebar.

"Ayah, Bunda mana?" Tanya Lea yang tak mengindahkan pertanyaan basa-basi kedua kakaknya.

"Ayah dan Bunda lagi nemuin dokter" bohong Chika mengenai Bundanya. Chika mengatakan semua itu karena tidak ingin membuat adiknya semakin tertekan ketika mengetahui bahwasanya ibunya tidak peduli terhadapnya.

"Sekarang gak usah mikirin yang terlalu berat dulu dek. Lo harus banyak istirahat" pinta Fian mengalihkan pembicaraan.

Fian hanya tidak bisa terima ketika Lea masih menanyakan seseorang yang sudah membuatnya seperti sekarang ini. Yang menghancurkan Lea berkali-kali, menghancurkan hati yang sudah tidak berbentuk lagi menjadi buih-buih debu yang hampir tak terbentuk.

"Abang Lea udah tidur lama. Lea pengen duduk terus ngobrol sama kalian. Kita bahkan gak pernah bisa berkumpul bertiga kaya gini. Ini pertama kalinya lho" kekeh Lea yang terlampau bahagia itu.

Lea bahagia ketika melihat kedua kakaknya berada di sisinya. Hal itu menjadi penyemangat tersendiri bagi Lea untuk berusaha bebas dari penyakitnya.

Lea berusaha duduk dan di bantu oleh kedua kakaknya. Lea senang bukan main ketika mendapatkan perhatian penuh dari kedua kakaknya di waktu yang bersamaan.

"Kakak, Abang makasih ya. Lea bahagia" ucap Lea menahan tangisnya.

"Hey, kenapa mau nangis gitu?" Tanya Chika yang sebenarnya sama-sama menahan tangisnya.

"Lea seneng liat Abang sama Kakak kumpul bareng Lea gini. Lea ngerasa punya keluarga yang utuh dan baik-baik aja. Kenapa harus dengan cara ini kalian baru bisa berkumpul?" Ungkap Lea dengan air mata yang ikut meluruh.

"Dek.. Jangan bahas apapun lagi. Sekarang kesehatan Lo adalah prioritas utama buat gue" ujar Fian yang memang tidak mau lagi membahas mengenai hal yang tak bisa ia mengerti.

Lea menunduk pilu, ternyata Fian tetap saja tidak mau berbaikan dengan keluarga Bundanya. Tiba-tiba saja darah mengalir dari hidung Lea yang menetes ke selimut putih yang di kenakan.

Lea merasa pening di kepalanya dengan sangat. Dadanya juga terasa sakit sekali. Lea sadar jika kedua kangker yang ada di dalam tubuhnya sedang bereaksi. Kangker yang menggerogoti tubuhnya itu sedang melancarkan aksinya untuk menyebar. Lea amat sangat sadar akan hal itu.

Fian dan Chika yang menyadari jika adiknya itu mimisan pun kalang kabut mencari tisu. Dan untungnya Chika membawa tisu di tas miliknya.

"Kamu kenapa Lea?" Tanya Chika sembari menyodorkan tisu ke arah hidup Lea. Chika menghapus darah yang ada di hidung Lea dengan telaten tanpa merasa jijik sama sekali.

Sedangkan Fian hanya diam mematung. Fian tau jika penyakit kangker hati milik Lea pastinya sedang kambuh. Fian merasa bersalah karena bahkan sampai sekarang Fian belum juga mendapatkan pendonor hati untuk Lea .

"Gue mau panggil dokter Fahri dulu" pamit Fian yang langsung di cegah oleh Lea.

"Gak usah, ini cuma mimisan biasa" tolak Lea dingin. Ya Lea kembali pada sikapnya yang dingin jika penyakit kangker yang ia derita kembali berulah. Lea sebenarnya sedang menyembunyikan segala rasa sakitnya dibalik wajah datar dan dinginnya itu.

"Biasa gimana? Jelas-jelas itu pasti karena......" Ucapan Fian berhenti seketika. Fian lupa jika di dalam ruangan itu masih ada Chika.

"Karena apa?" Tanya Chika penasaran. Bagaimana tidak, tiba-tiba saja Fian menghentikan ucapannya ketika tatapannya tertuju pada Chika.

"Karena pikiran gue yang terlalu kacau" jawab Lea.

Lea menatap Fian yang masih menahan gejolak rasa kesal di hatinya. Sebenarnya Lea juga ingin mengeluh membagi rasa sakitnya tapi Lea tidak enak jika terus merepotkan Fian.

Tatapan Lea beralih pada Chika yang ternyata sedang menyapanya lekat. Tatapan penuh curiga dan penasaran menumpuk menjadi satu dalam matanya. Tatapan Chika seolah bertanya apa sebenarnya yang terjadi. Tapi, Lea benar-benar tidak siap untuk membagi lukanya. Lea sama sekali tidak ingin merepotkan orang lain atas penyakit yang di deritanya.

"Gue pengen tidur. Kalian lebih baik pulang dan istirahat di rumah" pinta Lea lalu merebahkan tubuhnya yang begitu terasa lelah.

"Gue jagain Lo di sini" tolak Fian yang masih saja setia menemani sang adik.

"Kakak mau di sini aja sama kamu" tolak Chika juga. Chika mau menghabiskan waktunya bersama Lea untuk hari ini.

Diam-diam Lea terharu mendengar ucapan kedua kakaknya itu. Mereka begitu sangat menyayanginya dengan tulus. Mungkin sekarang tujuan barunya adalah menjadikan kedua kakaknya tempat berpulang. Lea pun berjanji pada dirinya akan memulai suatu hubungan dan menghilangkan segala ketakutannya terhadap itu semua. Lea mungkin akan mencoba memulai sesuatu dengan Zefa.

"Gue tau Lo belum tidur. Apa boleh gue mengusulkan sesuatu?" Tanya Fian tiba-tiba setelah beberapa menit mereka di selimuti keheningan. Dan hal itupun mengundang perhatian Chika yang pastinya akan menyimak baik-baik pembicaraan yang baru saja akan di muka

"Apa?" Tanya Lea seraya membuka kedua mata indahnya menatap Fian.

"Lo suka sama Zefa?" Tanya Fian to the point.

"Gak, kata siapa?" Jawab Lea salah tingkah. Wajahnya pasti sudah memerah bak kepiting rebus.

Sebenarnya Lea menyukai cara Zefa memperlakukannya. Zefa memperlakukannya dengan lembut tiga hari belakangan. Lea merasa nyaman dan aman ketika berada di dekat Zefa, bos sialan yang menyebalkan.

"Dari wajah Lo, Lo gak bisa bohong. Oke Lo boleh menjalin hubungan dengan dia. Sebenernya gak semua hubungan akan berakhir dengan luka dek. Masih ada suatu hubungan yang bakal membuat Lo bahagia. Ketakutan Lo itu karena Lo sama sekali belum mencoba. Zefa kan anaknya Om David sahabatnya Papa, jadi gue yakin Lo kenal betul dengan Om David. Lo jangan ragukan didikan Om David yang begitu menjujung tinggi derajat wanita. Dek, setiap orang memiliki takdir masing-masing dan memiliki tirai luka masing-masing jadi sekarang lebih baik Lo hilangin semua prasangka buruk Lo terhadap suatu hubungan" jelas Fian panjang lebar seraya mengelus lembut pucuk kepala Lea.

Lea merasa sangat senang ketika Fian mampu menenangkan hati dan pikirannya yang tidak stabil itu. Lea senang bukan main karena Fian sejatinya kakak yang mampu menjadi rumah tempat Lea berpulang.

Lain dengan Chika yang merasa iri karena Fian bisa sangat dekat dengan Lea. Bahkan tentang pria yang sedang dekat dengan Lea pun Fian tau sedangkan dirinya? Ia tidak tau apa-apa mengenai Lea. Chika merasa jika dirinya bukanlah kakak yang baik untuk Lea . Lea terlalu jauh untuk Chika gapai sekarang ini. Karenanya sekarang Chika hanya mampu tersenyum getir melihat Fian lebih jauh selangkah di depannya untuk menjadi tempat Lea bersandar.

TIRAI LUKA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang