Dua Puluh Dua

8 1 0
                                    

Fian yang berjalan keluar dari kamar Lea itu menutup untuk mengisi perutnya yang belum ia isi sejak siang tadi. Fian berjalan terus menuju kantin. Tapi tak sengaja Fian melihat Chika sedang duduk sendiri di bangku taman rumah sakit.

Tanpa berpikir panjang, Fian akhirnya memutuskan untuk menghampiri Chika. Bagaimanapun Fian dan Chika harus bisa saling berdamai demi sang adik. Kesalahan orang tua mereka tidak seharusnya membuat mereka saling membenci.

"Lo ngapain di sini?" Tanya Fian seraya mendudukkan pantatnya di bangku kayu tepat di sebelah Chika.

Chika yang awalnya sedang melamun itu akhirnya sedikit tersentak ketika sebuah pertanyaan datang menghampirinya.

"Eh, aku cuma lagi nenangin pikiran aja" jawab Chika.

"Kenapa?" Tanya Fian lagi.

"Tentang Lea. Berapa banyak hal yang gak aku tau tentang Lea. Aku merasa gagal menjadi seorang kakak buat Lea. Dia gak bahagia selama ini, dia sakit, dan dia menderita pun aku gak tau. Dia berharga buat aku Yan. Dia adalah alasan Ayah mempertahankan rumah tangganya sama Bunda. Ayah bener-bener mencintai Lea dengan sepenuh hatinya. Kalo kejadian tadi merenggut nyawa Lea, entah apa yang bakal Ayah lakuin. Ayah gak bisa tanpa Lea itu yang aku tau selama ini" ungkap Chika menangis.

Chika sudah cukup menahan kesedihannya selama ini. Puncaknya adalah ketika ia merasa gagal menjadi seorang kakak untuk Lea.

Fian mendengarkannya dengan baik. Ia tau bagaimana perasaan Chika saat ini. Sakit itu juga pernah Fian rasakan.

"Gak ada yang perlu Lo sesali, semuanya udah terjadi" ujar Fian.

"Lea menjadi bagian penting dalam kehidupan orang lain. Seberapa kuat aku mencoba menjadi bagian penting dari hidupnya semuanya tetep sulit. Terkadang aku iri sama kamu, kamu bisa menjadi sandaran untuk Lea sedangkan aku yang serumah dengan dia gak pernah bisa memasuki kehidupannya. Ini sakit untuk aku" jelas Chika tak kuasa menahan keluhannya lagi.

"Lo harus kuat demi Lea. Lea butuh kekuatan dari orang-orang terdekatnya. Lea butuh dorongan dari kita semua untuk tetap bertahan hidup" ujar Fian mencoba membuat Chika mengerti.

"Apa ada kemungkinan Lea bakal lakuin ini lagi?" Tanya Chika harap-harap cemas.

Fian menggeleng "dia gak akan melakukan percobaan bunuh diri lagi".

Chika bernapas lega sebelum akhirnya, Fian mengatakan hal yang membuat tidak percaya.

"Karena cepat atau lambat, dia akan pergi ninggalin kita semua. Dia pasti akan pergi jadi persiapkan hati Lo mulai detik ini"

"Maksudnya apa?" Tanya Chika belum memahami apa yang di maksud oleh Fian.

Tanpa menjawab Fian pun pergi meninggalkan Chika begitu saja. Fian hanya ingin meminta Chika mempersiapkan dirinya tanpa berniat memberikan alasan yang tepat di balik ucapannya itu.

❄️❄️❄️❄️❄️❄️❄️


Lea dan Zefa bak seorang remaja sedang kasmaran. Mereka tidak melewatkan sama sekali candaan receh untuk saling menghibur.

"Sayang, mulai besok kamu kerja di ruangan aku aja" usul Zefa serius.

"Kenapa?" Tanya Lea bingung.

"Aku gak mau kamu kecapean lagi. Kamu jadi asisten aku aja, biar pekerjaan kamu sedikit ringan" jawab Zefa lembut.

"Kamu jangan aneh-aneh deh. Aku gak mau. Aku udah nyaman banget sama posisi aku sekarang" tolak Lea.

Zefa tau jika ia harus ekstra sabar menghadapi wanita yang sedang keras kepala. Sebenarnya jika Zefa perhatikan, sikap keras kepala Lea itu sama seperti ibunya. Dan banyak sikap Lea yang mirip sekali dengan ibunya.

"Terserah kamu deh. Tapi kalo kamu ngerasa capek atau gak sanggup lagi kerja, kamu gak boleh memaksakan diri. Kamu boleh ke ruangan aku buat istirahat, oke" ujar Zefa mengalah.

Lea mengangguk dengan petuh. Lea senang sekali karena kali ini ada seseorang yang mau mengalah demi kebahagiaan. Lea senang dengan Zefa yang lembut seperti sekarang ini. Hati Lea bahkan selalu terenyuh ketika Zefa sedang mengatakan hal yang mampu membangkitkan semangat hidupnya lagi.

"Kamu udah makan siang?" Tanya Lea perhatian pada Zefa.

"Udah kok, kamu yang belum makan siang" jawab Zefa seraya mengambil sebuah mangkuk yang berisi bubur untuk Lea.

"Aku gak suka bubur" tolak Lea manja ketika Zefa akan menyuapkan bubur itu ke mulutnya.

"Sayang, untuk sekarang kamu harus makan bubur dulu. Nanti kalo kamu udah sembuh kita bakalan makan di luar. Kamu boleh makan apa aja yang kamu mau, aku janji. Tapi sekarang kamu harus makan ini biar cepet sembuh" bujuk Zefa lembut.

Zefa senang sekali bisa memperlakukan Lea seperti sekarang ini. Hatinya merasa berbunga-bunga ketika Lea mau menerimanya dengan tulus tanpa harus ada pemaksaan dari Zefa seperti beberapa minggu yang lalu.

Zefa terus menyuapkan bubur pada Lea hingga bubur itu habis. Zefa melihat Lea yang begitu tersiksa ketika memakan bubur itu. Wajah Lea sangat terlihat jelas seperti orang yang sedang menahan mual.

"Udah, sekarang kamu istirahat dulu. Kita tunggu kakak kamu balik ke sini setelah itu aku mau pamit pulang" ujar Zefa.

"Kamu mau pulang?" Tanya Lea dengan raut wajah sedihnya.

Zefa tersenyum ketika melihat wajah baby face milik Lea. Apapun hal kecil yang Lea lakukan mampu membuatnya tersenyum bahagia. Lea sudah menjadi candu untuk Zefa, itulah kenyataannya.

"Aku masih ada pekerjaan sedikit. Aku janji besok aku bakalan jagain kamu seharian penuh. Lagian besok kan libur" jawab Zefa memberi pengertian pada Lea.

Lea hanya mengangguk kecil dengan perasaan belum sepenuhnya terima jika Zefa akan pulang. Entahlah berada di dekat Zefa, Lea merasa nyaman dan bahagia. Seperti sudah tidak lagi merasakan sebuah tekanan yang selama ini menekan mentalnya.

"Kamu pulang aja, kayaknya Ayah sebentar lagi masuk deh" ucap Lea seraya menyandarkan kepalanya pada dada bidang milik Zefa. Zefa yang memang duduk di ranjang sebelah kanan Lea, memudahkan Lea untuk menyandarkan kepalanya pada dada Zefa.

Baru saja Lea mengatakan jika ayahnya akan masuk, Anton masuk ke dalam ruangan Lea dengan manatap Lea bertanya.

Lea yang paham akan tatapan sang ayah pun segera membenarkan posisinya dan melirik Zefa yang juga menatapnya dengan tatapan bertanya.

"Ayah, ini Zefa. Zefa ini Ayah" ucap Lea memperkenalkan mereka satu sama lain.

"Zefa, Om" ucap Zefa memperkenalkan diri.

"Anton. Lea kamu udah makan?" Tanya Anton setelah memperkenalkan diri pada Zefa.

"Udah Yah. Ayah, Bunda mana?" Tanya Lea mencari ibunya.

"Bunda tadi pulang buat ambil baju-baju kamu" jawab Anton seraya mengecup kening sang putri.

Anton duduk di sisi kiri Lea dan menatap Zefa yang sedang berdiri kikuk.

"Kamu boleh pulang. Terimakasih udah mau jagain anak saya" ujar Anton mengizinkan Zefa pulang.

"Kalo gitu saya pulang dulu Om. Sayang istirahat yang cukup ya. Aku pulang dulu" pamit Zefa pada Anton dan Lea.

Lea pun mengangguk saja sebagai jawaban. Ia bingung harus menjelaskan apa pada Anton ketika nanti Anton bertanya padanya.

Setelah melihat kepergian Zefa, Anton menatap putrinya jahil. Anton tersenyum melihat wajah takut Lea yang seperti ABG SMA ketahuan berpacaran oleh orang tuanya.

"Sekarang kamu istirahat dulu. Ayah gak akan marahin kamu" ujar Anton yang membuat Lea bisa bernapas lega.

TIRAI LUKA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang