2. JARI PETIR (Tentang alam bawah sadar)

276 40 21
                                    

*2.

          ❀𖤣𖥧𖡼⊱✿⊰𖡼𖥧𖤣❀

Flashback sebelum bertunangan dengan Arini.

Saya akhirnya tumbang. Setelah kecapekan dan kurang istirahat. Makan tidak teratur dan tidur tidak teratur membuat saya tunduk pada raga yang tak berdaya. Dokter selalu menasehati agar pasiennya makan dan istirahat dengan teratur. Tapi dokter sendiri ...

Ini terjadi setahun lalu, sebelum saya bertunangan dengan Arini.
Sebuah moment yang tidak bisa saya lupakan.

Tak habis kalimat untuk sepenggal nama Arini, tak kan pernah pupus kata untuk sebuah nama yang tak lekang di hati saya.

Ini terjadi saat liburan idul fitri di rumah eyang buyut. Tempat keluarga besar berkumpul. Dan biasanya, cucu-cucu dan cicit-cicit pulang paling akhir. Termasuk kami. Yang menganggap ini sebagai liburan. Meski saat pandemi begini yang mudik hanya bisa di hitung dengan jari.

Saya yang paling akhir karena berbagi shif dan berbagi libur dengan teman-teman. Meski hanya dua hari sangat saya nikmati.

Dan Arini? Sama seperti saya. Meski lebih fleksible Arini. Karena dia tester lepas di sebuah biro psikologi.

Dan yang paling membuat bahagia. Dia rela menanti saya. Tidak akan pulang sebelum bertemu saya.

***

Saya tak bisa mengangkat kepala saya. Rasa pening dan berdenyut-denyut yang menguasai kepala saya tak bisa membuat saya membuka mata.

"Kaak ...!"

Seer!

Darah saya mengalir lebih cepat. Suara Arini. Saya tetap tertelungkup di atas ranjang. Meski semakin dekat langkah kaki Arini, semakin membuat detak jantung saya tidak karuan.

Harumnya body lotion faforitnya sangat saya kenal. Lotion dengan tutup  warna gold produk Singapura yang saya belikan.

"Kaak ..."

Lembut suaranya di telinga saya, selembut sentuhannya pada tubuh saya.

Saya terkesiap!
Seperti ada aliran listrik yang menyetrum tubuh saya.

"Astaqfirlloh!" pekik saya sambil bangkit dengan cepat. Auw! Tambah berdenyut-denyut kepala saya. Arini melongo. Menatap saya dengan ekspresi beg*.


"Kenapa?" tanyanya sambil menatap saya yang menyeringai. Mata saya membola saat tangannya terulur ke arah saya.

"Jangan sentuh saya!' pekik saya panik dengan suara sengau karena flu berat. Arini makin melongo. Menatap saya bingung.

"Kenapa, Kak? Jangan nakutin ah!" tanyanya panik, saya tidak berani bertemu mata dengannya. Saya menatap secangkir wedang jahe yang ia bawa.

Arini tahu betul jika saya kurang enak badan saya suka dibuatkan wedang jahe dengan gula madu.

"Kaak! Kenapaa?" pekiknya panik sambil mengguncang bahu saya kasar karena saya tetap diam. Mungkin mengira saya kesambet.

Saya meloncat turun dari ranjang. Terhuyung karena pusing.

"Kesetrum!" jawab saya datar saat Arini terus memberondong saya dengan tanya.

"Hah? Kesetrum apa'an?" tanyanya heran. Meletakkan secangkir jahe di atas meja bundar mungil bertaplak batik.

ⓂⒺⓃⒹⒶⓀⒾ ⓀⒶⓀⒾ ⓁⒶⓃⒼⒾⓉTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang