25. ENKRIPSI ( 1 ) (tentang kritik sosial)

130 34 20
                                    

*25.

.
(A/n. Isi part ini hanya fiktif. Tidak bermaksud menyinggung dan merendahkan pihak manapun )

.
.
PoV. Arini Pradita Diningrum
.
.
Aku terpaku di sudut kafe. Gemetar jemariku saat menjamahi sedotan bengkok. Menyesap jus buah nagaku lewat benda berwarna putih itu. Aku bersyukur Marvin Stone menemukan sedotan 134 tahun yang lalu. Sangat membantu memudahkan perempuan bercadar sepertiku untuk minum di tempat umum. Meski menurut suamiku itu gak baik untuk kesehatan enamel gigi. Karena penumpukan gulanya.

Lagi,
Aku amati pria di sudut lain yang sepertinya mengamatiku.
Memakai hoodie hitam dengan tudung yang menutupi rapat kepalanya.

Sejak menjadi pendamping psikologi Arabella aku memang paranoid. Korban pelecehan seks oleh seorang putra pengusaha besar dengan jaringan relasi penguasa di kota kami. Dan ini memang menjadi kasus tersulit yang kami hadapi. Aku juga pernah pendampingan psikologi pada korban KDRT istri seorang pejabat. Hasilnya sudah bisa ketebak, gugatan cerai gagal dan berakhir damai dengan alasan yang klise ; ketergantungan finansial. Padahal dia yang semula ngotot pengen bercerai dengan drama air mata dan selaksa cerita derita di beber pada kami. Aku bisa apa jika masih ada perempuan yang rela dipukuli tiap hari demi seteguk kemapanan hidup dan self image? Fredoom of choice.

Apakah pria yang sepertinya menguntitku sejak aku keluar dari kantor itu memang ingin menyakitiku?

Kecelakaan motor yang aku alami kemarin membuatku ekstra hati-hati. Aku sepertinya sengaja di serempet agar jatuh. Beruntung aku selamat dan hanya lecet-lecet. Sayang aku tidak hafal nomor polisinya saat Rivano menanyakannya padaku. Di samping gelap aku juga shock. Jadi tidak berpikir ke arah sana.

"Rin,
Assalamu'alaikum!"

Aku mendongak saat mendengar suara Rivano. Entah mengapa aku merasa sangat lega. Sangat mudah menemukanku di kafe ini. Karena aku pasti duduk di pojokan sepi. Biar mudah jika makan dan minum.

"Alhamdulillah sudah P21, penyidik kepolisian akan akan menyerahkan tersangka dan barang bukti pada kejaksaan." ucap Rivano setelah salamnya aku jawab. Duduk di hadapanku, hanya di batasi meja.

P21 adalah kode naskah formulir untuk pemberitahuan bahwa hasil penyidikan sudah lengkap.

"Syukurlah, berarti sudah tahap II." gumanku lega. Aku mengawasi pria di sudut sana. Masih setia dengan wajahnya yang tertutupi koran yang ia baca. Aku biarkan Rivano memesan menu. Aku menggeleng saat ia menawariku pesan apa lagi.

"Tapi gimana kalau dia bisa buktikan bahwa mereka melakukannya atas dasar suka sama suka? Atau dia punya alibi yang kuat."

Aku bertanya, ragu kami akan menang. Seperti biasa aku selalu pesimis bila yang kami hadapi orang kuat. Alibi adalah bukti bahwa seseorang berada di tempat lain ketika peristiwa pidana terjadi (tidak berada di tempat kejadian ). Aku khawatir tuntutan kami di anggap pembunuhan karakter untuk pencemaran nama baik. Apapun bisa terjadi kan?

"Jika anda tidak bisa membuktikan bahwa saya bersalah. Maka saya bisa menuntut balik kalian dengan pencemaran nama baik. Perusakan reputasi."

Terngiang kata-kata AlVaro. Lawan kami di pengadilan nanti. Tatap mata tajamnya penuh keyakinan. Pembunuhan karakter adalah usaha - usaha untuk mencoreng reputasi seseorang. Tindakan yang bisa berupa pernyataan yang melebih - lebihkan atau manipulatif fakta untuk memberikan citra yang tidak benar tentang seseorang yang di tuju.

"Jangan pesimis, Rin. Kita sedang berusaha membela hak - hak kaum marginal. Gimana Arkha ? Masih marah?"

Rivano bertanya tentang suamiku. Aku mengangguk lemah. Menyedot jusku pelan - pelan seolah begitu menikmatinya.

ⓂⒺⓃⒹⒶⓀⒾ ⓀⒶⓀⒾ ⓁⒶⓃⒼⒾⓉTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang