7. RUMAH LENTERA (2) (Tentang kritik sosial)/intergenerational trauma

157 38 36
                                    

*7.

         ❀𖤣𖥧𖡼⊱✿⊰𖡼𖥧𖤣❀

Flashback sebelum bertunangan

Arkha Bamantara

Entah mengapa hari ini saya ingin cepat pulang. Saya lelah. Mungkin karena kemarin pulang pukul 23.00. Setelah shif jaga IGD usai pukul 21.00 harus lanjut menggantikan visite di bangsal anak. Dan hari ini saya shif pagi.

Kepala saya rasanya berat, berdenyut-denyut dan tiba-tiba AC ruangan terasa lebih dingin. Udara seperti di kutub.

Berkali saya melihat jam yang melingkari pergelangan tangan saya. Jam seperti berjalan sangat lambat.

Hampir saya terpejam sambil bersandar saat pintu IGD tiba-tiba terdobrak. Dan ...

"Apnea, Dok!" pekik ners Ratna, mendorong brankar dengan bayi mungil terkulai.  Diikuti seorang ibu-ibu muda yang menangis. Beberapa pengantar lain mencoba diberi pengertian untuk menunggu di luar. Pusing saya hilang seketika, saya bergerak cepat. Memakai sarung tangan latex. Sementara ners Laili melepaskan seluruh baju bayi.

Saya raih selang sucion, hati-hati dengan Basmalah saya masukkan selang itu ke mulut bayi. Cairan berwarna putih tampak tersedot keluar begitu mesin saya nyalakan.

"Aspirasi." guman saya pada dr. Chantika yang hari ini bertugas bersama saya. Dokter Chantika membenarkan.

Saya biarkan dr.Chantika melakukan resusitasi. Saya menerima balon oksigen yang disiapkan ners Ratna. Saya pompakan ke hidung dan mulut bayi.

Dugaan saya bayi ini baru berumur sekitar 1 bulan, sekujur tubuhnya mulai pasi.

Saya berusaha tetap konsentrasi di antara jerit histeris ibu-ibu muda yang tak kuat lagi berdiri. Sudah bersimpuh di lantai sambil memanggil-manggil nama anaknya.

Tim medis bergerak cepat, ners Laili menyiapkan adrenalin. Ners Ratna menghubungi dr.Rosita. Yang lain menyiapkan alat intubasi dan defibrilator. Siap dengan segala kemungkinan jika resusitasi dengan menggunakan sungkup gagal.

Lima belas menit sudah berlalu, saya sudah suntikan adrenalin. Saya melakukan intubasi. Inilah saat paling krusial dalam penyelamatan nyawa pasien. Seolah berlomba dengan sang malaikat maut yang siap mencabut.

Saya masukkan laringoskop untuk membantu membuka jalan napas dan melihat pita suara. Setelah terlihat hati-hati saya memasukkan tabung endotrakesi, sebuah tabung berbahan plastik fleksibel yang sesuai dengan usia pasien. Kami berusaha sebaik mungkin agar pasien selamat. Ayolah, Naak! Berjuanglah untuk hidup! Pekik batin saya.

"Negatif, Kha." ucap dr.Chantika. Saat cek jantung bayi. Saya tak putus asa dengan hati terus merapal doa, saya terus melakukan kompresi jantung. Chantika yang ganti memompa balon oksigen. Keringat saya bercucuran. Ini hampir setengah jam. Akankah usaha kami sia-sia? Kami hanyalah perantara. Alloh penentu segalanya.

"Nadi teraba, Kha." pekik Chatika, saat sebelah tangannya meraba nadi bayi, ucapan tahmid menggema. Semua bergerak cepat. Menyiapkan infus, menyiapkan tabung oksigen. Di antara tangis ibu sang bayi yang sujud syukur.

Dokter Rosita yang baru datang tersenyum dan memberi jempol pada kami.

"Good job." ucap beliau, saya hanya tersenyum. Siap-siap ganti shif. Hampir pukul 14.00. Saya ingin segera tidur. Saya benar-benar lelah.

"Kita makan siang bareng, Kha?" tawar Chantika saat kami sudah berjalan menyusuri koridor rumah sakit.

"Lagian hujan, Kha. Mau hujan-hujanan naik motor?"

ⓂⒺⓃⒹⒶⓀⒾ ⓀⒶⓀⒾ ⓁⒶⓃⒼⒾⓉTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang