14.ZONA NYAMAN VS CINTA (Tentang mindset/virtual relationship)

168 32 22
                                    

*14.

       ❀𖤣𖥧𖡼⊱✿⊰𖡼𖥧𖤣❀

(A/n. Isi part ini hanya imajinasi semata. Tidak bermaksud menyinggung siapapun.

Dan isi part ini tidak mewakili benar atau salah. Tergantung mindset masing-masing🙏)

❤️

"Ayo! Ayo! Stand by! Korban kecelakaan beruntun di jalan Mpu Tantular lagi otw!" ucap Raffi tiba-tiba, setengah jam menuju aplusan. Menjelaskan bahwa sekitar sepuluh menit lagi mereka sampai. Pihak kepolisian barusan menghubungi.

"Siapkan matras juga, buat berjaga-jaga jika bed tidak cukup." ucap saya pada ners Ratna sambil menulis resep tambahan untuk salah satu pasien. Karena untuk korban kecelakaan beruntun tak bisa di prediksi. Ners Ratna menurut.

Benar, sepuluh menit kemudian IGD diserbu puluhan orang yang menjadi korban sekaligus pengantar pasien.

Hanya dalam hitungan detik aroma darah menguar di seluruh sentral triase IGD. Menembus masker yang saya pakai. Tentu saja itu berasal dari puluhan pasien yang berdarah-darah. Untung saya bukan hemophobia. Jika saya hemophobia bisa pingsan melihat drama penuh darah ini.

Lenguh kesakitan, jerit histeris pasien meregang nyawa, sumpah serapah menahan sakit, berbaur tangis, lantunan dzikir dan teriakan intruksi tim medis menggaung memenuhi seisi ruang. Kami kalang kabut karena membludaknya jumlah pasien yang ternyata terus bertambah. Untung ada adik-adik KoAss. Tiba-tiba,

"Hooeekk!!"

Byooorr!!

Muntahan menyembur mengenai snellli saya. Dari pasien yang diduga gegar otak. Pipi dr.Madina yang sibuk hecting tak jauh dari saya tiba-tiba menggelembung dengan tubuh terbungkuk, menutup mulutnya dengan tangan, pasti dari tadi dokter yang hamil muda itu menahan diri untuk kuat melihat darah dan orang muntah.

Saya sempat ditepuk Madina agar melanjutkan tugasnya. Saya mengangguk, melepas snelli saya dulu. Saya letakkan di bagian bawah dressing trolly, karena kotor oleh muntahan pasien. Saya sempat melihat Madina berlari menjauhi IGD, tak sampai di nurse station dia sudah muntah-muntah menghadap tempat sampah warna kuning. Konsekuensi pekerjaan. Tiba-tiba saya sempat berpikir bagaimana bila istri saya, Arini hamil muda?

"Gak bisa, Dek! Pokoknya saat kamu hamil! Stop! Berhenti kerja!"

Saat itu saya ngotot, tak bisa dikompromi lagi. Saya tak bisa mempertaruhkan kesehatan dan keselamatan anak istri saya untuk apapun.

"Lha? Kalau Arini hamilnya gak rewel gak pakai mual muntah?"

Arini masih ngeyel, dengan sorot mata kecewa. Saya menggeleng tegas saat itu.

"Pokoknya gak boleh! Gak ada kompromi!

"Tapi ..!"

Arini masih ngeyel seperti biasa,

"No!" sungut saya serius, dan hanya menyembunyikan senyum saat Arini manyun sambil ngedumel. Dan untuk meredakan amarahnya seperti biasa dia luluh dengan dekapan saya dengan kalimat lembut alasan mengapa saya ingin dia berhenti bekerja jika hamil. Mencari nafkah itu tugas suami. Dan istri yang bekerja itu nilainya sedekah bila dibelanjakan untuk keperluan rumah tangga. Dan saya tidak berhak atas penghasilannya.

"Aku pengen kak Arkha bisa ambil specialis. Atau paling tidak buka praktek sendiri." geletarnya saat itu dengan sorot mata tulus. Dengan haru saat itu saya rengkuh kepalanya ke dada saya. Saya ciumi pucuk kepalanya. Harusnya dia yang berpikir untuk ambil S2 agar bisa buka praktek dan tidak hanya jadi asisten mbak Rahma. Agar kerjaan dia lebih ringan. Tapi dia? Selalu mementingkan saya.

ⓂⒺⓃⒹⒶⓀⒾ ⓀⒶⓀⒾ ⓁⒶⓃⒼⒾⓉTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang