3. SENYUM(Tentang mindset/sedekah)

241 39 21
                                    

*3.

     ❀𖤣𖥧𖡼⊱✿⊰𖡼𖥧𖤣❀

Flashback sebelum bertunangan dengan Arini


Arkha Bamantara

Saya keluar dari ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU)  dengan diiringi ners Andin dan ners Mitha.

Tiap kali keluar dari ruangan ini dada saya selalu berdegub kencang. Membayangkan bayi-bayi mungil yang pulas di dalam incubator.

Membayangkan bagaimana rasanya jika kelak ada bayi mungil di tangan saya. Darah daging saya sendiri. Bersama dengan dia, perempuan yang saya cintai; Arini.

"Eh -- Dokter Arkha!" tiba-tiba sebuah suara menghentikan saya. Saya berkerut. Tidak mengenali perempuan yang memakai gamis warna maroon dengan hijab lebar senada.

"Eh  --- bagaimana keadaan bayi Rhea? Saya keluarganya. Saya adik ibu Kaira. Ibu bayi Rhea."

Perempuan itu mengenalkan diri. Saya oh pendek. Menjawab datar dan lugas pertanyaannya.

"Keadaannya stabil. Kami masih menuggu berat badannya naik. Billirubinnya sudah turun.

Ibunya saja yang harus rajin kasih ASI. Bayi prematur butuh perhatian yang lebih dari pada bayi yang lahir cukup bulan."  jawab saya sambil berjalan cepat dan perempuan itu terus mengikuti saya.

"Harus rajin dijemur ya, Dok?" tanyanya antusias. Saya mengangguk. Berusaha tetap profesional tanpa melanggar SOP.

Billirubin dibuat oleh tubuh ketika sel darah merah hancur secara alami.

Pada bayi baru lahir, salah satu tanda kadar billirubin yang tinggi yaitu kondisi bayi akan kuning. Bayi akan kuning jika billirubin tidak diproses sebagaimana mestinya oleh hati.

Dijemur di bawah sinar matahari pagi dapat membantu memecah enzim sehingga memudahkan tubuh untuk menghilangkan warna kuning tersebut.

Menghadapi keluarga pasien memang beragam karakter. Ada yang antusias, ada yang sok dekat sok akrab, ada yang tidak berani berinisiatif apapun bila tidak di tanya. Atau di minta harus melakukan apa.

"Untuk lebih lengkap sebaiknya ibu konsultasi dengan dokter Rosita." putus saya, karena saya bukan dokter specialis anak. Saya hanya dokter jaga IGD yang menggantikan dr.Rosita yang sedang ada keperluan di luar.

Untung saya ingat rekam medis bayi Rhea, karena itu yang terakhir saya periksa sebelum keluar dari NICU.

"Saya bukan ibu-ibu, Dok. Saya masih lajang!"

Tiba-tiba dia protes. Kedua ners yang mengikuti saya menahan senyum. Tidak berani tertawa meski pipi mereka menggelembung.

Saya tersenyum kecil, ingat Arini yang sering mengatakan saya tidak asyik dan kaku.

"Jadi orang itu jangan terlalu kaku, Kak! smile! Sedekah yang termudah juga kali!

Tabassumuka fi wajhi akhika laka shodaqotun.

Senyummu di hadapan saudaramu adalah (bernilai) sedekah bagimu!"

Saya tersenyum mengenang ceramahnya yang kadang lebih pada cerewet. Mengutip HR.Tirmidzi.

"Iya, saya harus senyum-senyum sendiri gitu." goda saya saat itu, sebelum saya mengadu keras karena bahu saya dia tinju gemas.

"Gak gitu juga kali, Kaaak!Senyum-senyum di tengah jalan sekalian sana! Atau di traffic light!" godanya dengan tawa ngakak. Saya ikut tertawa saat itu.

ⓂⒺⓃⒹⒶⓀⒾ ⓀⒶⓀⒾ ⓁⒶⓃⒼⒾⓉTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang