🌹🌹🌹11

16.3K 570 74
                                    

Jax membebaskan bibir Ellie dari desak pagutannya yang berlangsung selama beberapa menit.  Ia membiarkan Ellie menghirup udara dan bernafas lepas. Ditatapnya sendu wajah cantik sang gadis sembari berulang kali mengusap pipi gadis itu dengan ibu jari. 

Jax melipat bibir kemudian, merasakan rasa manis buah-buahan dari lipstain Ellie yang tersisa pada bibirnya. Sementara Ellie balas memandang Jax dengan perasaan campur aduk, antara terkejut tapi juga terkesima. Jax terus menangkup kedua sisi pipi Ellie dan merasakan kulit halus gadis belia itu. Agak terasa dingin karena udara malam dan atmosfir hutan kecil Grant Mansion yang menguarkan hawa sejuk. 

Jax menelan salivanya untuk membasahi tenggorakan. Ia juga berupaya menetralkan deru jantungnya yang masih berdegup kencang. Seusai mencium bibir sang gadis impian, Jax tentu merasa adrenalinnya terpacu, badannya mulai panas dan mungkin sekarang wajahnya memerah. Tapi ia tak ingin terlihat gugup di depan Ellie. Ia pun berusaha tenang ketika mulai berbisik pelan pada gadis itu. 

"Semua tidak akan jadi masalah kalau aku adalah pemuda sebayamu ..." Jax berkata. "Tapi aku adalah pria dewasa yang bahkan lebih dari dua kali usiamu" lanjutnya. "Jika aku menginginkanmu itu menjadikanku tak jauh berbeda dengan Anthony..." lirih Jax setengah putus asa. 

"Aku harus menahan diriku - sungguh itu sangat menyakitkan" Gumamnya dengan raut penuh sesal. 

Ellie melebarkan mata menatap baik-baik wajah Jax yang tampan rupawan namun malam itu tengah berselimut keresahan. Dipahaminya apa yang baru saja Jax sampaikan. Ia juga mencermati ekspresi Jax. Dan ia pun yakin kalau Jax tengah bersungguh-sungguh dan bukan sekedar ber-akting. 

"Ternyata aku tidak mampu harus selalu mengikuti peraturan, bahkan aku benar-benar telah melanggar prinsipku sendiri sekarang" Jax kembali berucap jujur. 

Ellie memandang simpati pada Jax. Tentu ia paham jarak usia mereka yang terpaut jauh dapat membuat keduanya berada dalam masalah jika tetap memaksakan bersama. Apalagi ia juga belum berusia legal. Jax pasti mempertimbangkan hal tersebut. 

"Apa kau paham maksudku?" Jax bertanya. 

Ellie mengangguk. "Itukah sebabnya anda menarik beasiswa saya, dan ingin saya ... menjauh dari sini?" ia mendesis lemah dan mulai memahami tujuan Jax menghindar darinya. 

Jax mengambil satu helaan nafas panjang dan menghembuskan pelan. "Benar" balasnya. Ia sedikit lega saat tau Ellie mulai mengerti bahwa bukan karena membenci atau salah gadis itu ia ingin mereka berjauhan. "Tapi peraturan dibuat untuk dilanggar kan? Aku tidak keberatan mengambil resiko untukmu. Aku justru akan lebih sedih jika tak bisa melihatmu lagi" bisik Jax disertai mengulas senyum getir. 

Mereka berdua kembali terdiam. Ellie masih bingung dan belum mampu menanggapi. ia sekarang hanya menunduk menatap tatanan batu limestone dibawah kakinya. 

"Please, say something..." Jax kembali bersuara. Ia membujuk Ellie agar segera membalas mengungkapkan isi hati. 

Ellie merenung. Ia masih merunduk menatap pathway. Ia memandang kakinya yang begitu dekat dengan Jax. Bahkan tadi bibir mereka sempat menyatu dan kini kulit mereka bersentuhan. Ia merasakan belaian jemari Jax terus menyalurkan kehangatan pada dirinya. Dan perasaannya pun juga turut menghangat. Maka Ellie akhirnya mengangkat wajah untuk menemui arah pandang mata hazel milik Jax. 

Dan malam itu, Ellie memutuskan untuk jujur pada seorang Jaxon Grant, si pria mapan penakluk hati para wanita yang mungkin secara usia lebih pantas ia panggil paman. Namun Ellie tak mau menghindar, memungkiri atau bersikap sulit dikejar. Ia hanya ingin Jax tau perasaannya karena pria itupun juga telah berterus terang.
"... Tolong, jangan membuat saya jauh dari anda, Tuan, karena saya ingin tinggal. Saya juga ingin berada disini - di dekat Anda..." lirih Ellie. Ia tak percaya bisa mengucapkan hal tersebut di depan Jax langsung. Ia sedikit malu namun ditatapnya Jax dengan tulus. 

THE MASTER'S SWEETHEARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang